Selasa, 21 Oktober 2014

Dia Kakekku


Pagi itu matahari sudah tampak tersenyum menghangatkan seluruh penjuru dunia, termasuk juga kamarku. Sinarnya menarik-narik gorden kamarku yang memaksa untuk segera masuk. Meski enggan dengan senang hati ku bukakan gorden yang menghalanginya masuk dan membiarkan kamarku yang gelap di terpa dengan cerah sinar Matahari yang hangat ini.
Seperti biasa, karena aku tinggal hanya dengan kakekku saja mengingat kedua orang tuaku yang pergi bekerja meninggalkanku di tangan kakekku. Karena nenekku sudah meninggal 3 tahun yang lalu, dan hal itu meninggalkan duka terdalam kepada kakekku. Walaupun beliau tidak membaginya kepadaku, aku masih bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari raut wajahnya yang selalu ceria jika bersamaku.
          Aku pun keluar kamar untuk membuatkan minuman dan sarapan seperti yang biasa ku lakukan, berhubung hari ini adalah hari minggu jadi aku sengaja ingin membuatkan menu special yang sudah ku persiapkan resepnya jauh dari minggu sebelumnya. Panekuk dengan sirup madu dan irisan strawberry tampak membuatku meneteskan air liurku.
          Aku sudah bisa menduga apa yang sedang kakekku saat ini. Berjemur atau lebih tepatnya bagi kasus kakek tertidur dibangku sambil disinari dengan Matahari. Ya cukup membuatku selalu terkekeh ketika melihat niat awal kakek untuk berjemur berubah menjadi acara tidur yang sangat beliau nikmati di pagi hari. Selalu, setiap hari beliau melakukan hal tersebut.
          Setelah selesai dengan eksperimen penekuk, aku pun menghiasinya dengan irisan strawberry dan apel. Membuatkan teh madu hangat, yang menurut kakek sangat enak ketika aku yang membuatnya. Pernah waktu itu seorang pembantu membuatkan teh madu untuk kakek dan kakek langsung berkomentar “Apa yang kau campurkan ke dalam teh ini? Rasanya, rasanya sangat tidak enak. Tidak seperti buatan cucuku.” Aku hanya bisa tersenyum menahan geli, karena pembantu kakek tidak menambahkan apapun kecuali resep yang sudah kuberikan kepadanya untuk membuatkan teh madu untuk kakek.
          Beliau terkenal akan ketegasan dan kebijaksanaanya, sehingga orang-orang yang dikenal beliau menaruh hormat dan juga rasa sayang karena kakek sangat suka memberi pertolongan kepada siapapun itu, baik orang yang dikenal maupun tidak. Tapi ketika beliau bersamaku, beliau selalu menunjukan sisi kakek yang humoris, pandai berkelakar, sering menjahiliku dan masih banyak kelakuan kakek yang sangat bertolak belakang ketika beliau berhadapan dengan masyarakat.
          Aku pun berjalan menuju taman di halaman depan, dimana kakek sedang berjemur-abukan lebih tepatnya tertidur. Aku hanya bisa menahan tawa, takut-takut meledak yang malah mengagetkan beliau yang sedang nyenyak bermimpi indah. Dengan lembut aku mengusap lengan kakek dan berkata “Teh madu dan penekuknya sudah jadi kek, sarapan yuk.” Seketika itu kakek terbangun dan tersenyum padaku “Kali ini penekuk ya? Ayo, kakek juga sudah kelaparan.” Ajaknya masuk sambil merangkulku sayang.
          Aku mengamati wajah beliau yang mulai memotong-motong penekuk tersebut dan memasukan ke mulutnya. Dengan was-was kuperhatikan wajahnya dan siap menerima celaan darinya. Tapi yang kutemukan adalah cengiran lebar yang membuatku silau. “Kenapa ketika kamu yang memasak semua terasa enak ya? Pembantu kakek harus banyak belajar dari dirimu.” Ah, betapa leganya penekuk yang kubuat sangat disukai kakek. “Mungkin, ibu mewarisi tangan dewanya kepadaku kek.” Jawabku sambil memasang cengiran.
          Dan kami menghabiskan waktu bersama, bercanda terawa membahasa berita politik, membahas Negara-negara yang sedang menjadi topik pembahasan di dunia. Yeah, kami tidak akan pernah kehabisan topik pembicaraan. Ketika berhenti paling kami minum atau makan sesuatu sekedar untuk membuat mulut sibuk bekerja. Dan setelah itu kami melanjutkan lagi kegiatan yang tak pernah bosan kami lakukan jika aku sedang libur tidak sekolah.
          Setiap saat ada kesempatan selalu saja aku gunakan untuk menjahili kakek. Entah ku dapatkan dari mana bakat jahilku ini yang terkadang membuatku terlihat seperti cucu yang kurang ajar. Tapi bukan kakekku kalau tidak bisa membalas setiap serangan yang kulancarkan. Tapi aku sudah tahu kelemahan beliau, beliau tidak tahan kalau kakinya digelitiki dan jika aku sudah terpojok oleh serangan balasannya barulah ku keluarkan jurus maut terakhirku itu. Seketika kakek mengaduh-aduh dan mengibarkan bendera putih tanda penyerahannya terhadap serangan yang ku lancarkan.
          Yeah, beliau merupakan sosok kakek yang sangat hangat dan sempurna. Selalu bisa membuatku tertawa saat rasanya hatiku tidak dapat tersenyum. Beliau selalu mengkhawatirkanku. Ya, kerjaan beliau ketika aku bersekolah adalah menunggu kepulangku. Karena sebagian besar, pintu itu dibukakan oleh beliau yang sudah hafal dengan jam kepulanganku. Kecuali ada kegiatan tambahan, aku akan memberitahu beliau tidak usah menungguku karena kan pulang telat.
          Yang selalu beliau tanyakan ketika kupulang adalah “Bagaimana harimu disekolah? Pasti belum makankan?” Hanya sebuah pertanyaan sederhana tidak mewah namu sarat akan makna yang mendalam. Selelah apapun kegiatanku di sekolah, aku selalu menyunggingkan senyuman sumringah kepada kakek agar beliau tidak khawatir kepadaku. Dan usahaku selama ini berhasil dengan lancar.
          Namun suatu hari ketika aku sedang menjalani ujian kenaikan, kakek tiba-tiba pingsan. Untung saja ada pembantu pada waktu itu yang segera minta tolong kepada para tetangga untuk membaa kakek ke rumah sakit. Aku yang waktu itu baru pulang ujian langsung terduduk lemas di lantai seketika mendapat informasi dari pembantu di rumah. Karena kakek tidak menungguku di depan, karena kakek tidak menyambutku akupun merasa aneh dan ternyata benar.
          Kakek menderita komplikasi yang selama ini sama sekali tidak kuketahui. Karena selama yang kuketahui, kakek selalu menjaga pola makannya dan seminggu sekali berolahraga jalan kaki mengelilingi kompleks perumahan. Jantung, ginjal, hati dan pancreas beliau sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Mengetahui hal itu dari Dokter, air mataku tak dapat dibendung lagi. Seketika itu aku menangis sejadi-jadinya.
          Namun Dokter menguatkanku seraya berkata “Saya akan berusaha menyembuhkan kakek kamu dengan segala kemampuan yang saya dan tim saya miliki. Berdoa kepada Tuhan, semoga kondisi kakekmu bisa stabil setelah mendapat perawatan kami.” Akupun terhipnotis dengan ucapan dan janji dari Dokter yang sudah berumur itu, yang berbicara sangat halus dan memancarkan sesosok dokter yang hangat dan kebapakan.
          Aku tidak dapat berkonsentrasi dengan segala pelajaran yang akan kuhadapi untuk ujian. Yeah, tapi aku masih tetap terus berusaha fokus dengan ujian yang masih ada 2 hari ke depan. Dan setelah selesai ujian kusempatkan menjenguk dan bertanya pada Dokter bagaimana perkembangan kondisi kakek. Kakek sudah menunjukan kemajuan yang baik. Akupun bersyukur mendengar kabar baik tersebut dan merasa lega.
          Ujianpun selesai, sekarang aku selalu berada dirumah sakit untuk menemani kakek. Takut tidak ada yang bisa mengajak beliau bercanda. Ketika kumelihat wajah beliau yang sedang tertidur karena telah diberikan suntikan oleh suster, air mata langsung jatuh meluncur bebas tanpa bisa kukendalikan. Jujur, aku takut sekali kehilangan beliau. Beliau adalah temanku beliau adalah kakekku. Beliau selalu mengerti bagaiaman caranya menghiburku yang terkadang penat dengan segala macam tugas. Aku tahu beliau begitu sangat menyayangiku sehingga mau merawatku begitupun aku yang sangat sangat menyayangi beliau.
          Akupun pulang dengan perasaan yang luar biasa lega. Melihat betapa kakek sangat segar karena menerima perwatan yang intensif dari para Dokter dan suster. Akupun pamit pulang karena hari sudah malam dan menitipkan kakekku itu kepada suster yang tengah berjaga di dalam ruangan tersebut. Namun keengganan membuatku berat melangkah pergi meninggalkan beliau dirumah sakit.
          Malamnya aku tidak bisa tertidur, entah mengapa setiap kali ingin memejamkan mata yang terlihat adalah sosok kakek yang sedang tersenyum padaku. Baru lewat tengah malam aku bisa memejamkan mataku. Dan aku terkejut ketika Hpku bordering, padahal rasanya aku baru saja tertidur. Segera ku angkat dan ku jawab telepon tersebut. Dan betapa terguncangnya diriku setelah penelepon tersebut menyelesaikan kalimatnya yang terakhir. Duniaku seakan runtuh, dadaku bergemuruh menahan perasaan sakit yang menjalar.
          Seketika itu juga air mata membanjiri seluruh pipiku dan mengaburkan pandangaku. Akupun bergegas pergi ke rumah sakit. Dan di sana kakeku sudah terbaring, terbaring tak bernyawa. Beliau seperti orang yang sedang tertidur saat ketika aku mendekatinya. Akupun mengguncang tubuh beliau sambil berkata “Kakek, ayo buka matamu. Atau aku tak akan pernah membuatkan teh madu kesukaanmu seumur hidupku, biarkan pembantu kakek saja yang membuatkannya. Ayo buka matamu kek, aku kesepian di rumah kan temanku hanya kakek.”
          Aku terduduk lunglai di lantai, aku menangis sekeras-kerasnya. Terlalu banyak kenangan yang telah beliau buat untukku. Sehingga ketika mengingatnya, dadaku sakit dan air mataku bertambah deras mengalir tanpa henti. Hari ini aku sangat banyak kehilangan, yang membuatku merasa sangat terpukul. Aku kehilangan keluarga, kehilangan teman kehilangan sahabat dan tentunya aku kehilangan kakekku. Beliau pergi dengan damai dan meninggalkan sejuta kenangan indah yang hanya aku, beliau dan Tuhan yang tahu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar