Pagi itu matahari
sudah tampak tersenyum menghangatkan seluruh penjuru dunia, termasuk juga
kamarku. Sinarnya menarik-narik gorden kamarku yang memaksa untuk segera masuk.
Meski enggan dengan senang hati ku bukakan gorden yang menghalanginya masuk dan
membiarkan kamarku yang gelap di terpa dengan cerah sinar Matahari yang hangat
ini.
Seperti
biasa, karena aku tinggal hanya dengan kakekku saja mengingat kedua orang tuaku
yang pergi bekerja meninggalkanku di tangan kakekku. Karena nenekku sudah
meninggal 3 tahun yang lalu, dan hal itu meninggalkan duka terdalam kepada
kakekku. Walaupun beliau tidak membaginya kepadaku, aku masih bisa merasakan
kesedihan yang terpancar dari raut wajahnya yang selalu ceria jika bersamaku.
Aku pun keluar kamar untuk membuatkan
minuman dan sarapan seperti yang biasa ku lakukan, berhubung hari ini adalah
hari minggu jadi aku sengaja ingin membuatkan menu special yang sudah ku
persiapkan resepnya jauh dari minggu sebelumnya. Panekuk dengan sirup madu dan
irisan strawberry tampak membuatku meneteskan air liurku.
Aku sudah bisa menduga apa yang sedang
kakekku saat ini. Berjemur atau lebih tepatnya bagi kasus kakek tertidur
dibangku sambil disinari dengan Matahari. Ya cukup membuatku selalu terkekeh
ketika melihat niat awal kakek untuk berjemur berubah menjadi acara tidur yang
sangat beliau nikmati di pagi hari. Selalu, setiap hari beliau melakukan hal
tersebut.
Setelah selesai dengan eksperimen
penekuk, aku pun menghiasinya dengan irisan strawberry dan apel. Membuatkan teh
madu hangat, yang menurut kakek sangat enak ketika aku yang membuatnya. Pernah waktu
itu seorang pembantu membuatkan teh madu untuk kakek dan kakek langsung
berkomentar “Apa yang kau campurkan ke dalam teh ini? Rasanya, rasanya sangat
tidak enak. Tidak seperti buatan cucuku.” Aku hanya bisa tersenyum menahan
geli, karena pembantu kakek tidak menambahkan apapun kecuali resep yang sudah
kuberikan kepadanya untuk membuatkan teh madu untuk kakek.
Beliau terkenal akan ketegasan dan
kebijaksanaanya, sehingga orang-orang yang dikenal beliau menaruh hormat dan
juga rasa sayang karena kakek sangat suka memberi pertolongan kepada siapapun
itu, baik orang yang dikenal maupun tidak. Tapi ketika beliau bersamaku, beliau
selalu menunjukan sisi kakek yang humoris, pandai berkelakar, sering
menjahiliku dan masih banyak kelakuan kakek yang sangat bertolak belakang
ketika beliau berhadapan dengan masyarakat.
Aku pun berjalan menuju taman di
halaman depan, dimana kakek sedang berjemur-abukan lebih tepatnya tertidur. Aku
hanya bisa menahan tawa, takut-takut meledak yang malah mengagetkan beliau yang
sedang nyenyak bermimpi indah. Dengan lembut aku mengusap lengan kakek dan
berkata “Teh madu dan penekuknya sudah jadi kek, sarapan yuk.” Seketika itu
kakek terbangun dan tersenyum padaku “Kali ini penekuk ya? Ayo, kakek juga
sudah kelaparan.” Ajaknya masuk sambil merangkulku sayang.
Aku mengamati wajah beliau yang mulai
memotong-motong penekuk tersebut dan memasukan ke mulutnya. Dengan was-was
kuperhatikan wajahnya dan siap menerima celaan darinya. Tapi yang kutemukan
adalah cengiran lebar yang membuatku silau. “Kenapa ketika kamu yang memasak
semua terasa enak ya? Pembantu kakek harus banyak belajar dari dirimu.” Ah,
betapa leganya penekuk yang kubuat sangat disukai kakek. “Mungkin, ibu mewarisi
tangan dewanya kepadaku kek.” Jawabku sambil memasang cengiran.
Dan kami menghabiskan waktu bersama,
bercanda terawa membahasa berita politik, membahas Negara-negara yang sedang
menjadi topik pembahasan di dunia. Yeah, kami tidak akan pernah kehabisan topik
pembicaraan. Ketika berhenti paling kami minum atau makan sesuatu sekedar untuk
membuat mulut sibuk bekerja. Dan setelah itu kami melanjutkan lagi kegiatan
yang tak pernah bosan kami lakukan jika aku sedang libur tidak sekolah.
Setiap saat ada kesempatan selalu saja
aku gunakan untuk menjahili kakek. Entah ku dapatkan dari mana bakat jahilku
ini yang terkadang membuatku terlihat seperti cucu yang kurang ajar. Tapi bukan
kakekku kalau tidak bisa membalas setiap serangan yang kulancarkan. Tapi aku
sudah tahu kelemahan beliau, beliau tidak tahan kalau kakinya digelitiki dan
jika aku sudah terpojok oleh serangan balasannya barulah ku keluarkan jurus
maut terakhirku itu. Seketika kakek mengaduh-aduh dan mengibarkan bendera putih
tanda penyerahannya terhadap serangan yang ku lancarkan.
Yeah, beliau merupakan sosok kakek
yang sangat hangat dan sempurna. Selalu bisa membuatku tertawa saat rasanya
hatiku tidak dapat tersenyum. Beliau selalu mengkhawatirkanku. Ya, kerjaan
beliau ketika aku bersekolah adalah menunggu kepulangku. Karena sebagian besar,
pintu itu dibukakan oleh beliau yang sudah hafal dengan jam kepulanganku.
Kecuali ada kegiatan tambahan, aku akan memberitahu beliau tidak usah
menungguku karena kan pulang telat.
Yang selalu beliau tanyakan ketika
kupulang adalah “Bagaimana harimu disekolah? Pasti belum makankan?” Hanya
sebuah pertanyaan sederhana tidak mewah namu sarat akan makna yang mendalam.
Selelah apapun kegiatanku di sekolah, aku selalu menyunggingkan senyuman
sumringah kepada kakek agar beliau tidak khawatir kepadaku. Dan usahaku selama
ini berhasil dengan lancar.
Namun suatu hari ketika aku sedang
menjalani ujian kenaikan, kakek tiba-tiba pingsan. Untung saja ada pembantu
pada waktu itu yang segera minta tolong kepada para tetangga untuk membaa kakek
ke rumah sakit. Aku yang waktu itu baru pulang ujian langsung terduduk lemas di
lantai seketika mendapat informasi dari pembantu di rumah. Karena kakek tidak
menungguku di depan, karena kakek tidak menyambutku akupun merasa aneh dan
ternyata benar.
Kakek menderita komplikasi yang selama
ini sama sekali tidak kuketahui. Karena selama yang kuketahui, kakek selalu
menjaga pola makannya dan seminggu sekali berolahraga jalan kaki mengelilingi
kompleks perumahan. Jantung, ginjal, hati dan pancreas beliau sudah tidak
berfungsi sebagai mana mestinya. Mengetahui hal itu dari Dokter, air mataku tak
dapat dibendung lagi. Seketika itu aku menangis sejadi-jadinya.
Namun Dokter menguatkanku seraya
berkata “Saya akan berusaha menyembuhkan kakek kamu dengan segala kemampuan
yang saya dan tim saya miliki. Berdoa kepada Tuhan, semoga kondisi kakekmu bisa
stabil setelah mendapat perawatan kami.” Akupun terhipnotis dengan ucapan dan
janji dari Dokter yang sudah berumur itu, yang berbicara sangat halus dan
memancarkan sesosok dokter yang hangat dan kebapakan.
Aku tidak dapat berkonsentrasi dengan
segala pelajaran yang akan kuhadapi untuk ujian. Yeah, tapi aku masih tetap
terus berusaha fokus dengan ujian yang masih ada 2 hari ke depan. Dan setelah
selesai ujian kusempatkan menjenguk dan bertanya pada Dokter bagaimana
perkembangan kondisi kakek. Kakek sudah menunjukan kemajuan yang baik. Akupun
bersyukur mendengar kabar baik tersebut dan merasa lega.
Ujianpun selesai, sekarang aku selalu
berada dirumah sakit untuk menemani kakek. Takut tidak ada yang bisa mengajak
beliau bercanda. Ketika kumelihat wajah beliau yang sedang tertidur karena
telah diberikan suntikan oleh suster, air mata langsung jatuh meluncur bebas
tanpa bisa kukendalikan. Jujur, aku takut sekali kehilangan beliau. Beliau
adalah temanku beliau adalah kakekku. Beliau selalu mengerti bagaiaman caranya
menghiburku yang terkadang penat dengan segala macam tugas. Aku tahu beliau
begitu sangat menyayangiku sehingga mau merawatku begitupun aku yang sangat
sangat menyayangi beliau.
Akupun pulang dengan perasaan yang
luar biasa lega. Melihat betapa kakek sangat segar karena menerima perwatan
yang intensif dari para Dokter dan suster. Akupun pamit pulang karena hari
sudah malam dan menitipkan kakekku itu kepada suster yang tengah berjaga di
dalam ruangan tersebut. Namun keengganan membuatku berat melangkah pergi
meninggalkan beliau dirumah sakit.
Malamnya aku tidak bisa tertidur,
entah mengapa setiap kali ingin memejamkan mata yang terlihat adalah sosok
kakek yang sedang tersenyum padaku. Baru lewat tengah malam aku bisa memejamkan
mataku. Dan aku terkejut ketika Hpku bordering, padahal rasanya aku baru saja
tertidur. Segera ku angkat dan ku jawab telepon tersebut. Dan betapa
terguncangnya diriku setelah penelepon tersebut menyelesaikan kalimatnya yang
terakhir. Duniaku seakan runtuh, dadaku bergemuruh menahan perasaan sakit yang menjalar.
Seketika
itu juga air mata membanjiri seluruh pipiku dan mengaburkan pandangaku. Akupun
bergegas pergi ke rumah sakit. Dan di sana kakeku sudah terbaring, terbaring
tak bernyawa. Beliau seperti orang yang sedang tertidur saat ketika aku
mendekatinya. Akupun mengguncang tubuh beliau sambil berkata “Kakek, ayo buka
matamu. Atau aku tak akan pernah membuatkan teh madu kesukaanmu seumur hidupku,
biarkan pembantu kakek saja yang membuatkannya. Ayo buka matamu kek, aku
kesepian di rumah kan temanku hanya kakek.”
Aku
terduduk lunglai di lantai, aku menangis sekeras-kerasnya. Terlalu banyak
kenangan yang telah beliau buat untukku. Sehingga ketika mengingatnya, dadaku
sakit dan air mataku bertambah deras mengalir tanpa henti. Hari ini aku sangat
banyak kehilangan, yang membuatku merasa sangat terpukul. Aku kehilangan
keluarga, kehilangan teman kehilangan sahabat dan tentunya aku kehilangan
kakekku. Beliau pergi dengan damai dan meninggalkan sejuta kenangan indah yang
hanya aku, beliau dan Tuhan yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar