Minggu, 30 November 2014

Home For a Love

          “Wah warnanya cantik banget. Jarang-jarang gue bisa liat matahari terbenam, Lan. Thanks ya udah mau nemenin.”

          “Duh, kasian banget sih Non kayak baru liat matahari terbenam aja. Sama-sama Di. Kapan-kapan kita liat lagi yuk.”

          “Resek deh, ini emang kali pertama gue liat. Dan tolong ya jangan ketawa bahagia kayak gitu bisa kali Lan. Gue unyeng-unyeng juga nih kepala lo.” Jawab Dila yang sudah kepalang kesal dengan tingkah temannya yang satu ini.

          Dilan. Yang mana merupakan sumber dari segala sumber kekacauan sekaligus kebahagian di kehidupan SMA yang harus Dila jalani di Manado. Kampung halaman Papanya ini memang sangat indah dan juga masih terbebas dari yang namanya macet yang sudah menjadi langganan di Jakarta.

Oh, Manado itu sangat cantik. Masih sangat, sangat hijau, bersih, tenang, nyaman dan aku sangat suka semua hal tentang Manado kecuali Dilan Handoyo. Orang yang sangat ingin aku tidak temui, namun dimanapun aku berada pasti Dilan selalu ada di sana. Sungguh kebetulan yang sangat kebetulan sekali, bukan? Dan Dilan juga pindahan dari Jakarta sama sepertiku, namun dia sudah bersekolah di sini sejak SMP.

“Ups, iya ampun non ampun. Lucu aja lo tuh kadang polos dan jujur banget orangnya. Gue sampe gregetan sendiri ngeliatnya. Kapan-kapan gue ajak ngeliat matahari terbit deh. Pasti lo langsung kegirangan banget deh, dijamin.”

“Daripada tukang ngibulin orang kayak lo, mending gue polos udah kayak kain kafan. Yee, jangan ngarep gue bakal loncat-loncat kegirangan di depan lo ya. Nggak sudi gue” ujar Dila dengan tatapan meremehkan sambil menyunggingkan senyum iblisnya.

“Yaudah, hari minggu besok gimana kalo kita liat matahari terbit di bukit? Jam 4 gue tunggu lo di persimpangan gimana? Deal?” tanya Dilan sambil mengulurkan tangannya untuk membuat perjanjian.

“Oke deal. Persimpangan deket ini sama rumah gue” jawab Dila menjabat tangan Dilan. “Eh pulang yuk Lan. Pasti kalo sama lo nggak bakal dimarahin mama papa, hehe”

“Sompret, giliran ada maunya gue dibaikin deh. Kejem banget lo. Yaudah yuk, siapa tau tante bikin kue bolu syukur-syukur dibawain buat pulang. Wkwkwk.”

Mereka pulang diiringi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang pada akhirnya membuat mereka terkikik bersama karena menyadari betapa kekanak-kanakannya mereka berdua. 

Betul saja, sesampainya Dila dirumah dengan diantar oleh Dilan membuat Dila terbebas dari nyanyian surga sang mama. Dan sebagai gantinya Dilan mendapat 1 loyang bolu pandan panggang sebagai oleh-oleh untuk ayah ibu dan saudaranya. Dilan pun pulang dengan senyuman bahagia yang sangat menyilaukan melebihi silaunya matahari.


Kamis, 06 November 2014

Rokutousei no Yoru

Tau nggak anime yang judulnya no.6?? Anyway, aku dapet dari temenku dan awalnya nggak begitu mudeng sama jalan ceritanya, tapi lama-lama mudeng juga ^_^ hehe
Dan pas liat ending songnya, aduh itu sedikit melow yaa eh bukan bagiku itu bener-bener melow orang pas dengerinnya aja pake acara nangis tersedu-sedu kok. Nah ini dia lirik beserta terjemahannya ^_^ 
bisa didenger disini ya hehe https://www.youtube.com/watch?v=U2hdYIC6u6U

Kizutsuita toki wa sotto tsutsumikandekuretara ureshii
(Aku merasa senang jika kau memegangku saat ku terluka)
Korondetatte nai toki wa sugoshi no yuuki wo kudasai
(Apa bisa kunikmati hari dimana aku tidak bisa jatuh?)
Omoi wa zutto todokanai mamam kyou mo
(Perasaanku selamanya tidak akan sampai bahkan hari ini)
Tsumetai machii de hitori koko ga doko ga mou omoidasenai
(Aku sendiri di kota yang sepi entah yang dimana ini)
Owaranai yoru ni negai wa hitotsu
(Kuberharap satu hal pada malam tak berakhir)
Hoshi no nai sora ni kagayaku hikari wo
(Yaitu cahaya dimana langit tak berbintang)
Moderanai basho ni suteta monotte sae
(Untuk menerangi tempat yang tidak bisa kudatangi)
Umarekawatte ashita wo kitto terasu
(Yaitu esok yang baru dimana cahaya itu akan bersinar)
Hoshikuzu no naka de deaeta kiseki ga
(Keajaiban yang kutemukan di dalam kumpulan bintang)
Hitogomi no naka ni mata mienaku naru
(Tetap tak akan nampak dikeramaian)
Modorenai kako ni naita yoru tachi ni
(Kuingin mengucapkan selamat tinggal)
Tsugeru sayounara ashita wa kitto kagayakeru you ni
(Pada malam dimana kau menangis di masa lalu)
Konna chisana seiza na no ni
(Walau angkasa ini kecil)
Kokoni ita koto kidzuita kurai kure
(Cobalah untuk menyadari keberadaanku)
Arigatou

(Terima Kasih)

Minggu, 02 November 2014

Definisi Kebahagiaan Menurutku

Apa ya, sebenernya juga lagi dalam masa pencarian. Apa itu kebahagian yang bisa buat aku tersenyum, bisa buat aku tertawa lepas dan bisa membuatku merasa diakui dan diinginkan. Tapi seiring waktu berlalu, seiring usia bertambah aku sudah belajar beberapa hal tentang rumusan kebahagiaan.
Menurutku kebahagiaan tidak lah sederhana, tidak seperti struktur tubuh protozoa yang bersel satu *ups jadi inget biologi Pak Mugi Bu Era jadi kangen mereka,hehe*.  Karena di kebahagiaan itu sendiri memiliki beberapa komponen di dalamnya yang terkadang bisa menjadi rumit. Nah, ini mau dibahas satu per satu ya ^_^

1.     Keluarga yang selalu mendampingi
Maksudnya di sini bukannya kalo kita kemana-mana harus ditemenin oleh salah satu anggota keluarga, tapi lebih kepada saat kita membutuhkan yang dalam artian luas mereka selalu ada tepat di samping kita.
Keluarga itu mengerti, mamahami, melindungi, menjaga, menyayangi, mencintai, menghargai, menghormati, membutuhkan satu sama lain. Mereka melakukan semua itu tanpa berharap imbalan apapun hanya karena satu alasan. KITA KELUARGA. Di dalam DARAH kita mengalir darah yang sama dan memiliki hubungan yang sangat erat. Seperti peribahasa DARAH lebih kental daripada AIR.

2.    Teman, sahabat yang selalu mendukung
Tidak semua teman bisa kita jadikan seorang sahabat. Jujur, inipun masih merupakan suatu momok mengerikan bagiku. Mengingat banyak sekali hal-hal yang pernah terjadi dalam kehidupan pertemananku. Mungkin sejak kecil memang aku selalu bermasalah dengan beberapa orang teman, yang sangat jelas selalu menjadi mimpi buruk yang ingin aku lupakan*jika saja amnesia bisa terjadi padaku saat itu juga*.

Tapi dengan banyak sekali pengalaman yang mengharuskanku bersabar dan terkadang menangis, aku baru sadar bahwa seorang teman dan sahabat merupakan hal langka dan mahal yang hanya ditemukan beberapa di antara ribuan orang. Kenapa meraka dibilang langka? Karena mereka bisa menyesuaikan frekuensi hatinya kepada teman-temannya yang lain yang memiliki banyak kepribadian berbeda satu sama lain.

Mereka bersedia menyayangi seseorang yang tak memiliki hubungan darah. Mereka berani mengambil resiko menjadikan seseorang sebagai keluarga barunya. Kenapa mahal? Ya karena mereka memiliki harga atas pertemanan dan persahabatan yang terjalin. Kepercayaan, Kehormatan, Cinta dan Kasih Sayang. Mahal itu karena, kita butuh proses butuh waktu dan butuh banyak hal untuk menguatkan sebuah hubungan pertemanan dan persahabatan. Dengan adanya teman kita sadar, bahwa hidup harus diisi dengan kebahagian, senyuman dan juga tawa.

Teman dan Sahabat adalah orang yang mengajariku bagaimana carnya melihat dunia lebih luas, mereka yang mengajarkanku untuk percaya dan melangkah bersama mengarungi setiap permasalahan yang ada, mereka yang mengajariku bagaimana caranya menikmati hidup yang terkadang sangat sulit untuku nikmati, mereka mengajarkan bagaimana caranya tersenyum, tertawa dan juga menangis dalam satu waktu. It’s not a simple as you think.

3.    Hobi, Kesukaan
Hobi itu menurutku adalah perantara untuk mengekspresikan siapa diri kita sebenernya. Siapa diri kita yang tidak banyak orang mengenalnya dengan baik. Jujur hobiku itu banyak. Hobiku itu: Menulis*apapun itu, hal yang tak penting sekalipun kadang aku tulis*, menyanyi*jangan minder, suara jelek pun merupakan anugerah terindah yang patus disyukuri*, membaca, menari*lebih tepatnya joget nggak karuan kalo lagi denger musik yang oke buat joget*, menghayal*ya, menghayal tentang masa depan sangat membantu menghilangkan stress*, menjahili orang*walau belum sampe stadium yang parah, ya waspada aja ini kadang kambuhan*.

Sedangkan hal yang aku suka juga banyak. Mulai dari menonton tv, dengerin radio, makan, ngemil, basket, badminton, renang*suka tapi takut(?) takut nyelem nggak bisa balik lagi ke daratan*, berkebun*apalagi kalo nyiramin bunga,pohon yang notabene lumayan banyak dirumah. Sarana buat menentramkan jiwa yang sedang kebakaran*, naik sepeda*sejak SMP jadi semacam candu, juga sarana buat menghemat uang soalnya nggak usah naik angkot, sarana buat olahraga nyari keringet juga*, jalan-jalan*berhubung single, jadi suka jalan-jalan sendiri. Entah itu ke toko buku dan kemanapun itu aku sangat suka menikmati acara jalan-jalan yang santai*, makan yang manis dan asin*kadang kalo udah hari kemarin makannya manis terus, nah hari besoknya jadwal makan yang asin deh*,suka banget minum susu*susu sapi yang pasti, bukan susu onta,kambing dan apapun hewan yang menghasilkan air susu. Susu sapi sudah sangat mendarah daging soalnya*.

Suka banget bermonolog ria*kalo orang yang nggak tau, mungkin aku dikira gila ngomong sendiri ya  ._.v*, suka sama hewan tapi nggak semua hewan aku suka dan begitupun mereka yang tidak semua suka aku.
Dan semua hal itu membuatku sangat nyaman, senang dan kadang tersenyum serta tertawa dengan puas. Explore yourself as much as you can

4.    Rumah
Jelek bagusnya itu tetap rumahku. Aku selalu mencintai apapun kondisi rumahku. Rumah tempatku bernaung, tempatku bercengkrama dengan keluarga serta sanak saudara. Dan ketika aku pergi meninggalkan rumah, rumah tidak akan pernah mengusir dan tidak menerima kedatanganku melainkan rumah selalu menyambut kedatanganku*Ohoo, rumahku ajaib jadi bisa nyambut tamu yang datang*. Home sweet Home

5.    Kakak,adik dan sepupu
Selalu ada plusminusnya deh kalo berhubungan sama kakak,adek, sepupu dan saudara-saudara yang lainnya. Apalagi yang nggak begitu deket hanya ketemu pas acara besar yang notabene bisa diitung pake jari-jari di tangan. Tapi dengan keberadaan mereka semua, aku tidak lagi merasa sendiri*kadang selalu mikir, sebenernya aku punya saudara nggak sih ya(?)*. Walau kadang ada waktunya aku bersitegang dengan mereka dan kadang hubungan kami suangat baik sekali. Dengan adanya mereka hidupku lengkap*kayak makan mie pake telor,pake sawi dikasih bawang goreng sama kuah.Komplit*. Family means everything

6.    Seorang kenalan dan yang aku kenal
Mereka adalah orang-orang tertentu yang berhasil mendapatkan tempat di hatiku. Entah itu guru, tetangga, seseorang yang bertemu dijalan yang kemudian menjadi kenalan yang bisa diartikan menjadi teman ketemu dijalan(?). Mereka juga ikut andil dalam kebahagiaanku, karena tentunya setiap aku pergi aku selalu saja bertemu banyak orang yang bisa dipastikan tidak akan sama seperti hari sebelumnya. Dan siapa tahu? Bahwa kita yang dipertemukan secara tak sengaja memiliki benang merah yang kuat dibanding dengan orang-orang yang sudah saling kenal bertahun-tahun. Sometime stranger can become a true friend


 Bagiku hal-hal tersebutlah yang membuatku bahagia saat ini, tapi entah mungkin nanti atau suatu saat ada hal lain yang bisa menambahkan daftar hal yang membuatku bahagia.

Minggu, 26 Oktober 2014

That Star is Mine

v Bagian Ketiga


         “Dok, ada pasien yang gawat yang harus segera ditangani secepatnya. Tolong dokter segera datang ke rumah sakit sekarang juga.” Ucap suster Ana yang panik.
     “Tolong bilang ke dokter jaga untuk memberikan pertolongan pertama sembari menunggu saya datang, 15 menit saya akan sampai di rumah sakit. Sudah kamu jangan panik ya, Ana.” Ucapku menenangkan.
          “Baik dok, terima kasih.” Ucap suster Ana sambil menutup sambungan telponnya.

Memang pusing masih menyerangku, tapi ini pekerjaanku aku harus menolong pasien dan menyelamatkan nyawanya walaupun taruhannya nyawaku sendiri. Kuambil jas putih dan peralatan kedokteran yang lainya dan ku sambar kunci mobil yang tergantung di gantungan hello kity di dinding.

Langsung saja ku pacu mobilku di jalanan Jakarta yang untungnya tidak semacet biasanya, dan 10 menit kemudian aku telah sampai di rumah sakit. Akupun segera berlari menuju suster Ana yang menunggu di pintu depan Rumah Sakit.

          “Bagaimana kondisi pasienya?” jawabku sambil memakai jas putih.
        “Usia 7 tahun, mengalami kecelakaan dan terjadi patah tulang di rusuk dan tangan kirinya.”
        “Ya Allah, lalu apa sudah ada pihak dari keluarganya yang datang? Segera siapkan ruang operasi  dan panggil Dokter Andi untuk menemui saya.”
         “Sudah dok, pihak keluarga dan juga pihak yang menabrak si anak. Dok, apa dokter baik-baik saja?” selidik Ana sambil memperhatikan wajahku.
         “Saya baik-baik saja Ana, ayo kita harus segera mengambil tindakan.”

Akupun langsung masuk ke ruang operasi, karena kalau tidak dilakukan tindakan pada anak tersebut aku takut ada organ dalam yang terkena patahan tulang rusuk anak tersebut. Dokter Andi yang baru saja datang langsung mengambil posisinya di depanku, dengan posisi kita berhadap-hadapan.

          “Sudah siap semuanya?” tanyaku pada yang lainnya.
          “Siap.” Jawab semuanya serempak

1 jam kemudian, operasi selesai. Semuanya berjalan dengan lancar berkat kerja sama tim yang baik dan juga mukjizat dari Allah. Semua tenaga para tim terkuras habis karena terlalu fokus pada operasi hari ini. Baru beberapa langkah keluar dari ruang operasi, tiba-tiba tubuhku limbung dan detik berikutnya aku sudah tergeletak di lantai rumah sakit. Samar-samar kudengar jeritan suster Ana yang meminta bantuan kepada suster maupun dokter yang sedang berada disitu.

Ketika terbangun, aku sudah ada di ruang rawat inap dengan sebuah infusan yang menancap ditanganku. Dokter Erza yang juga salah satu sahabatku sedang mengamati sambil mengecek detak jantungku dengan stetoskopnya terkejut ketika aku membuka mata.
          “Za, gue dimana? Nih apaan pake infus nancep segala lagi, gue baik-baik aja kok.” Jawabku lirih karena pusing langsung menyergapku.
          “Di ruang mayat Rin, pake nanya lagi dimana. Ya di ruang inap lah tadi elo tiba-tiba pingsan abis OP. Apaan yang baik?? Tensi elo rendah banget, orang biasa mungkin udah pingsan ngegeletak tapi karena elo dokter mungkin punya darah cadangan kali ya.” Jawab Erza yang membuatku tersenyum.
         “Yee, gue nanya baik-baik kali Za. Berapa tensi gue, jangan bilang turun lagi. Karena gue punya tanggung jawab atas nyawa seseorang, itu yang bikin gue jadi lebih kuat.” Jawabku
          “68/60 parah gila lo ya, makanya sekarang elo harus di infus sama istirahat dulu. Tapi gue salut sama elo deh Rin, dengan tensi yang rendah banget elo masih bisa jalanin OP bareng si Andi tadi sumpah keren banget.” Jawabnya sambil memberikan tepuk tangan kecil tanda kagum.
          “Gila, turun lagi. Hahaha bisa aja ya elo ngebanyolnya, thanks ya Za. Sampe kapan gue harus di sini?”
        “Iya sama-sama Rin, sampai habis infusnya sama kalau tensi elo udah normal lagi baru elo bisa pulang. Eh iya tadi hp bunyi tuh.”
          “Lamaa juga, elo mau bantuin ngabisin infusnya nggak? Oh iya, mana hp gue ya?”
        “Yeee, bisa dimarahin direktur gue kalo nggak nyembuhin anak emasnya. Nih, tadi gue pegang.”
        “Ye, basi. Anak emas dari Hongkong. Yaudah sana cek pasien-pasiennya. Gue udah baikan kok.”
          “Kalau ada apa-apa panggil aja suster.”

Tuh kan benar saja, ternyata Arshi yang menelpon. Langsung saja aku telpon balik Arshi. Semoga dia tidak ngambek, kalau sudah ngambek ngedieminya itu loh yang susahnya minta ampun. Baru saja kupencet speed dial no 3 yang langsung mendial nomer hpnya, langsung saja ku dengar ocehannya Arshi yang sangat khas mirip burung beo.

          “Elo gimana sih? Gue telpon nggak diangkat-angkat, gue udah di apartemen elonya nggak ada. Elo dimana sih Rin jam segini, udah tau elo lagi nggak enak badan kan.”
        “Aduh satu-satu ngomelnya bisa kan? Sorry, gue dapet panggilan mendadak dari rumah sakit. Terus tadi gue pingsan soalnya tensi gue rendah banget.”
       “Pingsan? Lagi? Duh maaf maaf gue udah ngomel-ngomel nggak karuan. Terus sekarang elo gimana?” jaawab Arshi dengan nada yang melembut
           “Gue diinfus sama si Erza, katanya harus abis baru bisa pulang. Udah nggak pa-pa kok, palingan masih pusing aja nih kepala gue dari tadi. Udah kayak abis naik vertigo aja nih.”
          “Yaudah mau gue jemput?”
          “Gimana? Gue bawa si twin Ar.”
          “Yee gampang, gue jemput elo pake mobil gue nah mobil elo titipin aja dirumah sakit gimana?”
         “Yaudah deh, ntar kalau udah abis ini infusan gue call balik elo yaa. Gue mau tidur dulu daripada ngeliat eternite muter-muter tuh eternitenya.” Balasku sambil mematikan sambungan telponku dengan Arshi.

Crap!! This gonna take a long time just to stay in this room. Keluhku sambil mencoba untuk tidur namun bukannya tidur malah pusing hebat yang kurasakan. Dan lucu lagi, aku ini seorang dokter yang menyembuhkan pasien tapi untuk sekedar merawat dan menyembuhkan diri sendiri saja aku tidak bisa.

Memang benar kata Aristoteles bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, mengingat umurku yang sudah 25 tahun. Dimana pada umurku yang sekarang, para wanita pada umumnya sudah memiliki calon pendamping hidupnya, kecuali aku. Ya kecuali Maurin Kalinggarshi. Apa karena aku sibuk? Perasaan juga nggak sibuk-sibuk banget kok, palingan ke rumah sakit sama pulang ke rumah kalau dirasa udah sumpek dan bete dengan keadaan di apartemen.

Enak kali ya kalau udah punya cowok, bisa hang out bareng entah kemana nggak harus sama sahabat yang selalu aja bawa gandengan entah itu statusnya udah resmi pacaran atau baru sekedar pdkt. Emang Arshiku cintaku selalu aja memberikan nasihat.

          “Ayolah, nikmatin dunia ini kita cuma hidup sekali loh. Jangan terlalu serius sama masalah-masalah harian elo, badan dan otak elo kan juga butuh istirahat apalagi hati elo Rin.” Ucap Arshi sambil menatapku lurus-lurus di kafetaria rumah sakit.
          “I’m enjoying my life I love it Ar. Loh kenapa sama hati gue? Perasaan baik-baik aja deh sampai tadi elo bilang something wrong with my heart.” Balasku polos yang langsung mendapat tatapan geli dari Arshi
         “Gue tau elo trauma sama kejadian yang udah nimpa kakak elo, tapi nggak seharusnya hal itu menghentikan elo buat membuka diri sama cowok kan? Gue udah kenal elo lebih lama dari siapapun, mungkin elo sendiri nggak mengenal diri elo tapi gue nggak Rin. Gue kenal elo luar dalem.”

Glek!! Langsung saja aku terdiam terpaku dan hening kurasakan di sekitarku. Bahkan bunyi dentingan jam di dinding terdengar jelas di telingaku. Seperti pesawat tempur yang sudah mengunci sasaranya untuk dibidik agar tepat sasaran, seperti itulah perasaanku saat ini setelah mendengar ucapan dari Arshi.

Jujur aku trauma dengan kejadian yang menimpa kak Ranggita, aku takut sedih dan enggan setelah melihat betapa menderitanya kakakku yang sangat aku sayangi hanya karena kekasihnya yang benar-benar tulus dia cintai tega melakukan hal keji tersebut kepadanya. Dan yang lebih kejamnya lagi aku harus membantu merawat kakakku di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan dan akhirnya aku menerima kabar bahwa kakakku bunuh diri karena terlalu sedih sakit depresi dan menahan semuanya sendirian.

Arrghh!!! Aku benar-benar kalah telak kalau sedang bicara dengan Arshi. Memang benar dia orang yang paling mengerti diriku selain Ayah dan Bunda dan Juga Almh.Kak Ranggita. 8 tahun dia mengenalku, mana mungkin dia tidak tahu diriku luar dalam. Dan betapa bersyukurnya diriku ini karena Allah mengirimkan seorang sahabat baik yang benar-benar memahamiku, mendukungku selalu tau apa yang tengah merundungku.


Jumat, 24 Oktober 2014

That Star is Mine bagian 2

          “Mauriiiiiiiiiiiin, elo baik-baik aja? Maafin gue yaa, coba aja kalo gue nggak ngajak elo kemari pasti nggak bakal ada kejadian kayak gini. Kenapa elo nggak bilang kalo darah rendah elo kumat?”

          “Duh, berisik tau nggak sih baru juga gue sadar udah di teriakin aja sama petasan banting. Nggak pa-pa kok Ar, gue udah baikan. Yee, mana gue tau rendah apa nggaknya nih tensi.” Ucapku sambil mengurut pelipis.

          “Lan, tanggung jawab pokoknya ya. Elo harus ngerawat si Maurin.”

          “Iya, nanti gue kasih obat biar nggak rendah lagi tensinya.”
Arshi yang sedang sibuk sendiri mencari sesuatu di dalam plastik belanjaan yang tadi di bawa oleh Bram. Memang si Arshi sahabat yang pengertian banget, dia beliin makanan dan kebetulan aku lagi laper berat.

          “Nih, gue tau pasti elo laper berat kan? Abis makan baru elo balik ke apartemen dianterin Lana ya, gue mau pergi dulu sama Bram baru nanti malemnya gue nginep di tempat elo.”

          “Makasiiiiih ya Arshi. Gue makan nih, eh ada racunya nggak? Ntar gue tiba-tiba pingsan lagi.” Ceplosku dengan wajah innocent

          “Ye, gila lo. Tega banget gue sama elo. Udah makan bareng-bareng aja deh gue juga beli banyak, kalo gue kasih racun ntar biar mati bareng-bareng kita.”

          “Ngambek lo, iya gue makan yaa. Eh iya Bram Lan, makan yuk”

Aku ingat, saat ingin pipis tadi saat pertandingan sedang dimulai ada sesuatu benda yang menghantam kepala bagian belakangku. Ternyata itu adalah bola bisboll yang dipukul oleh Lana. Ya memang kondisiku saat itu sedang tidak baik, aku sudah merasa kalau tensiku sedang rendah. Jadilah aku pingsan, coba kalau nggak? Wah pasti malu banget deh. Saat aku hanya berdua dengan Arshi dia bilang sesuatu yang menurutku gila versinya Arshi banget.

          “Rin, dia oke nggak? Dokter jantung loh.”

          “Iya dia, oke kok cocok banget sama elo yang juga dokter Ar.”

       “Ye, bloon. Bukan Bram yang gue omongin, kalo dia juga Dokter tapi Dokter kandungan kayak gue. Ini Lana loh Rin”

          “Duh, jodoh banget ye elo pacaran sama-sama se profesi. Eh iya? Wah keren juga dong ya, emang umurnya berapa Ar? Biasanya sih kalau dokter ahli jantung itu udah pada tua bangka semua.”

          “Hehe, iya nih Alhamdulillah banget. Masih 30 kok ya sama aja kayak si Bram. Ciye naksir lo? Dia masih single kok.”

          “Ye gelo, kaga lah baru aja ketemu gara-gara insiden tadi.”

         “Rin rin, gue udah kenal elo dari SMA ya jadi mau ngeboong kayak apaan juga gue udah tau gelagat muka lo.”

         “Basi deh, siapa juga yang ngeboong. Udah ahh, gue mau balik apartemen mau nerusin tidur kepala gue masih sakit nih.”

          “Eh eh masih sakit? Bentar deh gue panggilin si Lana, gue juga udah mau jalan sama si Bram. Kalau ada apa-apa elo telpon gue aja ya.”

          “Masih lah Ar, elo tau sendiri badan gue gimana.”

          “Iye, elo dokter yang aneh. Kerjaan doang dokter, tapi badan begeng.”

Emang kadang aneh juga ya, pekerjaanku itu dokter spesialis anak-anak. Aku dapat menyelesaikan studiku lebih cepat dari kebanyakan orang yang mengambil jurusan ini, entahlah apa jurusan yang kuambil peminatnya sedikit atau akunya yang memang terlalu cerdas. Tapi taka pa yang penting aku sangat menikmati dan mencintai pekerjaanku sebagai dokter.
Akupun di antar pulang oleh Lana menuju apartemenku, aku dan Arshi berpisah di parkiran.

          “Gue tinggal ya Rin, pokoknya kalau ada apa-apa telpon aja gue. Gue bakal langsung teleport ke apartemen elo."

          “Iye bawel, gue Cuma butuh istirahat doang kok. Ati-ati ya Ar.”

        “Lan, jagain si Maurin ya. Awas kalau sampe parah pas gue ke apartemenya, gue aduin elo ke IDI.” Oceh si Arshi yang sambil mengedipkan mata kepadaku dan tersenyum jahil. Dan sumpah bikin orang pengen jambak rambutnya aja.

          “Wah, iya gue janji jagain sahabat elo. Daripada ijin kerja gue dicabut.” Jawab Lana dengan senyum, dan ya ampuuuun senyum yang manis mana dia punya lesung pipit di sebelah kanan lagi. Udah kayak Shahrukh Khan versi Indonesia deh.
Akupun pulang diantar dengan mobil Lana. Aku sempat bingung harus memulai percakapan tentang apa, tapi akhirnya aku membuka pembicaraan mengenai pekerjaannya yang sama denganku hanya saja berbeda bidang.

          “Kata Arshi elo dokter ya? Udah berapa tahun jadi dokter?” ucapku tiba-tiba dengan nada setenang mungkin

          “Iya gue dokter jantung, baru 8 tahun kok. Masih butuh waktu yang lama buat menekuni pekerjaan ini. Elo sendiri dokter kan?” balasnya

          “Hebat ya, dokter spesialis jantungkan susah dan ribetnya minta ampun. Oh, iya gue dokter anak-anak doang kok.” Jawabku yang mulai bisa nyaman dalam pembahasan obrolan yang baru kumulai.

          “Nggak juga, menurut gue setiap pekerjaan ada resikonya jadi setiap pekerjaan apapun itu menurut gue ya hebat. Spesialis anak-anak? Wow, mau belajar jadi calon ibu yang baik ya?” goda Lana.

          “Good answer, karena setiap profesi memiliki kehebatanya tersendiri dan kembali lagi ke si individu pelakunya. Yaa gue suka aja sama yang berbau anak-anak, yang elo sebutin juga termasuk alasanya kok.” Jawabku sambil tersenyum karena seketika Lana menatap menunggu jawabanku.

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Tiba-tiba aku sudah berada di depan apartemenku. Lana pun memanuver mobilnya menuju parkiran. Setelah mendapat tempat parkir, kami turun dan masuk ke dalam lift yang menuju kamar apartemenku di lantai 17.

          “Kenapa nggak tinggal sama orang tua? Kan enak daripada harus nyewa apartemen yang bikin boros duit?” ucap Lana tiba-tiba memecah keheningan di dalam lift.

          “Apartemen ini strategis dari rumah sakit gue kerja, sedangkah rumah Ayah Bunda itu jauh banget dan harus muterin Jakarta. Emang lebih enak tinggal sama orang tua tapi ya itung-itung belajar mandiri lepas dari tangan orang tua.” Jawabku jujur

          “Hebat deh buat elo, udah negakin emansipasi wanita Eh iya bentar lagi sampai lantai 17.”

          “Nah, selamat datang di apartemen gue. Silahkan masuk, sorry kalau berantakan ya.” Jawabku manis sambil membukakan pintu.

          “Gue kira bakal parah berantak, tapi ini mah kelewat rapi sama bersih.” Ucap Lana sambil mengedarkan pandanganya ke seluruh penjuru ruangan apartemenku.

          “Ye, jadi elo pengen banget liat kamar seorang cewek yang berantakan kayak kapal pecah gitu? Wrong address, sir. Haha.” Jawabku sambil tertawa menjulurkan lidah ke Lana.
          “Ya kan kirain gitu elo nggak sempet beres-beres gara-gara sibuk di rumah sakit. Pengen lah, mau ngebandingin parahan mana soalnya.”

          “Sesibuk apapun rumah harus selalu bersih, itu motto gue. Yeew, kalau mau ngebandingin bersihan mana sih gue jabanin deh. Udah duduk dulu, nggak pegel emangnya.”

          “Iya gue pegel banget, oh iya gue nggak bisa lama-lama ya soalnya udah ada janji sama pasien yang mau check up rutin. Masih pusing nggak?”

          “Eh, kalau gitu kenapa nganterin gue? Elo kan bisa nolak tadi, Masih, tapi nanti juga hilang. Emang tensi gue berapa tadi?” jawabku yang sudah duduk di sofa sambil membawa teh hangat.

          “Tanggung jawab udah bikin elo pingsan. Gila ya, tensi elo bener-bener rendah 70/60 loh. Dokter juga harus tahu kondisi tubuhnya sendiri dong.” Ucap Lana yang sepertinya gemas. Dia mencari-cari sesuatu di dalam tasnya, dan memberikannya kepadaku.

          “Ya ampun rendah banget, Eh obat apaan nih?” tanyaku yang bingung karena tiba-tiba diberikan obat.

          “Ya elo gimana, masa nggak berasa kalo badanya udah minta diistirahatin? Obat buat nambah darah masa obat buat nambah duit. Gue numpang sholat ya.” Jawab Lana yang sudah bangun dari sofa.

          “Thanks ya Lan, eh silahkan ngambil wudhu aja dulu nanti gue siapin.” Jawabku cepat sambil bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar

          “Sholat bareng aja yuk, Rin.”

          “Oke deh, buruan gue juga mau ambil wudhu.”

Setelah Lana selesai mengambil wudhu, giliranku sekarang yang mengambil air wudhu, kami pun melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Ya baru pertama kali ada seorang cowok yang sholat ditempatku ini, apalagi berjamaah denganku sekarang ini. Mengingat hanya Arshi, Ayah dan Bunda yang wara-wiri apartemenku ini membuatku sedikit canggung dan impress dengan pertemuanku dengan Lana.
Setelah sholat, Lana pamit untuk pergi ke rumah sakit seperti yang sebelumnya sudah dia katakan bahwa dia ada pasien yang ingin check up rutin.

          “Gue pergi dulu ya, elo udah nggak pa-pa kan?” tanyanya sambil menyelidiki mukaku, mungkin takut aku berbohong padanya.

          “Iya gue udah mendingan kok, hati-hati yaa. Thanks buat semuanya.” Ucapku jujur, memang kondisiku sudah lebih baik walau masih sedikit agak pusing.

          “Your Welcome, obatnya abisin ya diminum 2x sehari.”


Setelah mengantar Lana sampai depan apartemen sampai dia masuk ke dalam lift, aku langsung meminum obat yang diberikan Lana kepadaku. Saat aku merebahkan diri di sofa, hpku bordering dengan deringan khusus tidak seperti telpon masuk dari yang lainnya dan aku sudah bisa menebak siapa yang menelponku saat ini.

Selasa, 21 Oktober 2014

Dia Kakekku


Pagi itu matahari sudah tampak tersenyum menghangatkan seluruh penjuru dunia, termasuk juga kamarku. Sinarnya menarik-narik gorden kamarku yang memaksa untuk segera masuk. Meski enggan dengan senang hati ku bukakan gorden yang menghalanginya masuk dan membiarkan kamarku yang gelap di terpa dengan cerah sinar Matahari yang hangat ini.
Seperti biasa, karena aku tinggal hanya dengan kakekku saja mengingat kedua orang tuaku yang pergi bekerja meninggalkanku di tangan kakekku. Karena nenekku sudah meninggal 3 tahun yang lalu, dan hal itu meninggalkan duka terdalam kepada kakekku. Walaupun beliau tidak membaginya kepadaku, aku masih bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari raut wajahnya yang selalu ceria jika bersamaku.
          Aku pun keluar kamar untuk membuatkan minuman dan sarapan seperti yang biasa ku lakukan, berhubung hari ini adalah hari minggu jadi aku sengaja ingin membuatkan menu special yang sudah ku persiapkan resepnya jauh dari minggu sebelumnya. Panekuk dengan sirup madu dan irisan strawberry tampak membuatku meneteskan air liurku.
          Aku sudah bisa menduga apa yang sedang kakekku saat ini. Berjemur atau lebih tepatnya bagi kasus kakek tertidur dibangku sambil disinari dengan Matahari. Ya cukup membuatku selalu terkekeh ketika melihat niat awal kakek untuk berjemur berubah menjadi acara tidur yang sangat beliau nikmati di pagi hari. Selalu, setiap hari beliau melakukan hal tersebut.
          Setelah selesai dengan eksperimen penekuk, aku pun menghiasinya dengan irisan strawberry dan apel. Membuatkan teh madu hangat, yang menurut kakek sangat enak ketika aku yang membuatnya. Pernah waktu itu seorang pembantu membuatkan teh madu untuk kakek dan kakek langsung berkomentar “Apa yang kau campurkan ke dalam teh ini? Rasanya, rasanya sangat tidak enak. Tidak seperti buatan cucuku.” Aku hanya bisa tersenyum menahan geli, karena pembantu kakek tidak menambahkan apapun kecuali resep yang sudah kuberikan kepadanya untuk membuatkan teh madu untuk kakek.
          Beliau terkenal akan ketegasan dan kebijaksanaanya, sehingga orang-orang yang dikenal beliau menaruh hormat dan juga rasa sayang karena kakek sangat suka memberi pertolongan kepada siapapun itu, baik orang yang dikenal maupun tidak. Tapi ketika beliau bersamaku, beliau selalu menunjukan sisi kakek yang humoris, pandai berkelakar, sering menjahiliku dan masih banyak kelakuan kakek yang sangat bertolak belakang ketika beliau berhadapan dengan masyarakat.
          Aku pun berjalan menuju taman di halaman depan, dimana kakek sedang berjemur-abukan lebih tepatnya tertidur. Aku hanya bisa menahan tawa, takut-takut meledak yang malah mengagetkan beliau yang sedang nyenyak bermimpi indah. Dengan lembut aku mengusap lengan kakek dan berkata “Teh madu dan penekuknya sudah jadi kek, sarapan yuk.” Seketika itu kakek terbangun dan tersenyum padaku “Kali ini penekuk ya? Ayo, kakek juga sudah kelaparan.” Ajaknya masuk sambil merangkulku sayang.
          Aku mengamati wajah beliau yang mulai memotong-motong penekuk tersebut dan memasukan ke mulutnya. Dengan was-was kuperhatikan wajahnya dan siap menerima celaan darinya. Tapi yang kutemukan adalah cengiran lebar yang membuatku silau. “Kenapa ketika kamu yang memasak semua terasa enak ya? Pembantu kakek harus banyak belajar dari dirimu.” Ah, betapa leganya penekuk yang kubuat sangat disukai kakek. “Mungkin, ibu mewarisi tangan dewanya kepadaku kek.” Jawabku sambil memasang cengiran.
          Dan kami menghabiskan waktu bersama, bercanda terawa membahasa berita politik, membahas Negara-negara yang sedang menjadi topik pembahasan di dunia. Yeah, kami tidak akan pernah kehabisan topik pembicaraan. Ketika berhenti paling kami minum atau makan sesuatu sekedar untuk membuat mulut sibuk bekerja. Dan setelah itu kami melanjutkan lagi kegiatan yang tak pernah bosan kami lakukan jika aku sedang libur tidak sekolah.
          Setiap saat ada kesempatan selalu saja aku gunakan untuk menjahili kakek. Entah ku dapatkan dari mana bakat jahilku ini yang terkadang membuatku terlihat seperti cucu yang kurang ajar. Tapi bukan kakekku kalau tidak bisa membalas setiap serangan yang kulancarkan. Tapi aku sudah tahu kelemahan beliau, beliau tidak tahan kalau kakinya digelitiki dan jika aku sudah terpojok oleh serangan balasannya barulah ku keluarkan jurus maut terakhirku itu. Seketika kakek mengaduh-aduh dan mengibarkan bendera putih tanda penyerahannya terhadap serangan yang ku lancarkan.
          Yeah, beliau merupakan sosok kakek yang sangat hangat dan sempurna. Selalu bisa membuatku tertawa saat rasanya hatiku tidak dapat tersenyum. Beliau selalu mengkhawatirkanku. Ya, kerjaan beliau ketika aku bersekolah adalah menunggu kepulangku. Karena sebagian besar, pintu itu dibukakan oleh beliau yang sudah hafal dengan jam kepulanganku. Kecuali ada kegiatan tambahan, aku akan memberitahu beliau tidak usah menungguku karena kan pulang telat.
          Yang selalu beliau tanyakan ketika kupulang adalah “Bagaimana harimu disekolah? Pasti belum makankan?” Hanya sebuah pertanyaan sederhana tidak mewah namu sarat akan makna yang mendalam. Selelah apapun kegiatanku di sekolah, aku selalu menyunggingkan senyuman sumringah kepada kakek agar beliau tidak khawatir kepadaku. Dan usahaku selama ini berhasil dengan lancar.
          Namun suatu hari ketika aku sedang menjalani ujian kenaikan, kakek tiba-tiba pingsan. Untung saja ada pembantu pada waktu itu yang segera minta tolong kepada para tetangga untuk membaa kakek ke rumah sakit. Aku yang waktu itu baru pulang ujian langsung terduduk lemas di lantai seketika mendapat informasi dari pembantu di rumah. Karena kakek tidak menungguku di depan, karena kakek tidak menyambutku akupun merasa aneh dan ternyata benar.
          Kakek menderita komplikasi yang selama ini sama sekali tidak kuketahui. Karena selama yang kuketahui, kakek selalu menjaga pola makannya dan seminggu sekali berolahraga jalan kaki mengelilingi kompleks perumahan. Jantung, ginjal, hati dan pancreas beliau sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Mengetahui hal itu dari Dokter, air mataku tak dapat dibendung lagi. Seketika itu aku menangis sejadi-jadinya.
          Namun Dokter menguatkanku seraya berkata “Saya akan berusaha menyembuhkan kakek kamu dengan segala kemampuan yang saya dan tim saya miliki. Berdoa kepada Tuhan, semoga kondisi kakekmu bisa stabil setelah mendapat perawatan kami.” Akupun terhipnotis dengan ucapan dan janji dari Dokter yang sudah berumur itu, yang berbicara sangat halus dan memancarkan sesosok dokter yang hangat dan kebapakan.
          Aku tidak dapat berkonsentrasi dengan segala pelajaran yang akan kuhadapi untuk ujian. Yeah, tapi aku masih tetap terus berusaha fokus dengan ujian yang masih ada 2 hari ke depan. Dan setelah selesai ujian kusempatkan menjenguk dan bertanya pada Dokter bagaimana perkembangan kondisi kakek. Kakek sudah menunjukan kemajuan yang baik. Akupun bersyukur mendengar kabar baik tersebut dan merasa lega.
          Ujianpun selesai, sekarang aku selalu berada dirumah sakit untuk menemani kakek. Takut tidak ada yang bisa mengajak beliau bercanda. Ketika kumelihat wajah beliau yang sedang tertidur karena telah diberikan suntikan oleh suster, air mata langsung jatuh meluncur bebas tanpa bisa kukendalikan. Jujur, aku takut sekali kehilangan beliau. Beliau adalah temanku beliau adalah kakekku. Beliau selalu mengerti bagaiaman caranya menghiburku yang terkadang penat dengan segala macam tugas. Aku tahu beliau begitu sangat menyayangiku sehingga mau merawatku begitupun aku yang sangat sangat menyayangi beliau.
          Akupun pulang dengan perasaan yang luar biasa lega. Melihat betapa kakek sangat segar karena menerima perwatan yang intensif dari para Dokter dan suster. Akupun pamit pulang karena hari sudah malam dan menitipkan kakekku itu kepada suster yang tengah berjaga di dalam ruangan tersebut. Namun keengganan membuatku berat melangkah pergi meninggalkan beliau dirumah sakit.
          Malamnya aku tidak bisa tertidur, entah mengapa setiap kali ingin memejamkan mata yang terlihat adalah sosok kakek yang sedang tersenyum padaku. Baru lewat tengah malam aku bisa memejamkan mataku. Dan aku terkejut ketika Hpku bordering, padahal rasanya aku baru saja tertidur. Segera ku angkat dan ku jawab telepon tersebut. Dan betapa terguncangnya diriku setelah penelepon tersebut menyelesaikan kalimatnya yang terakhir. Duniaku seakan runtuh, dadaku bergemuruh menahan perasaan sakit yang menjalar.
          Seketika itu juga air mata membanjiri seluruh pipiku dan mengaburkan pandangaku. Akupun bergegas pergi ke rumah sakit. Dan di sana kakeku sudah terbaring, terbaring tak bernyawa. Beliau seperti orang yang sedang tertidur saat ketika aku mendekatinya. Akupun mengguncang tubuh beliau sambil berkata “Kakek, ayo buka matamu. Atau aku tak akan pernah membuatkan teh madu kesukaanmu seumur hidupku, biarkan pembantu kakek saja yang membuatkannya. Ayo buka matamu kek, aku kesepian di rumah kan temanku hanya kakek.”
          Aku terduduk lunglai di lantai, aku menangis sekeras-kerasnya. Terlalu banyak kenangan yang telah beliau buat untukku. Sehingga ketika mengingatnya, dadaku sakit dan air mataku bertambah deras mengalir tanpa henti. Hari ini aku sangat banyak kehilangan, yang membuatku merasa sangat terpukul. Aku kehilangan keluarga, kehilangan teman kehilangan sahabat dan tentunya aku kehilangan kakekku. Beliau pergi dengan damai dan meninggalkan sejuta kenangan indah yang hanya aku, beliau dan Tuhan yang tahu.


Memories of You-Perkenalan tak Terduga-

“Hai, boleh kenalan sama kalian? Namaku Aurora Mahardika, tapi cukup panggil Rora aja ya” sapa Rora dengan suara riang dan senyum yang sangat manis, senyum yang membuat orang langsung jatuh hati padanya. Begitu juga dengan ketiga cewek yang tadi disapanya, seketika hanya bisa menatap Rora. Baru setelah beberapa saat salah satu dari mereka mulai menjawab.
“Namaku Ransasi Anandara, panggil aja Sasi ya Ro” ucap Sasi sambil menjabat tangan Rora dan dengan senyum tentunya sebagai permulaan dari persahabatan yang akan mereka jalin. Kemudian berlanjut dengan cewek yang sedang membaca buku.
“Namaku Amanda Aishatira, tapi aku lebih seneng dipanggil Shatira” jawab Shatira sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum manis ke mereka berdua.
Dan cewek ketiga yang sedang sangat sibuk, dia sedang memakan bekal dan juga membaca sebuah buku yang sangat menarik perhatiannya yang akhirnya melempar cengiran dengan mulut yang masih penuh dengan roti. “Oh hai, namaku Virenedita Alanis panggil Irene aja”
Seketika itu juga Shatira, Rora dan Sasi tertawa melihat tingkah laku Irene yang seperti anak kecil yang tentunya bikin gemas dengan pipinya penuh dengan roti yang dimakannya. Yang ditertawai hanya menatap kearah ketiga calon sahabatnya itu dengan tatapan bingung dan memohon penjelasan. Sasi lah yang menjelaskan dengan bahasa isyarat dengan menggembungkan kedua pipinya sebesar yang dia bisa sambil menunjuk kearah Irene. Sedetik kemudian, pecahlah tawa mereka berempat yang untungnya bagi Irene yang telah menelan habis rotinya.
Entah kenapa Rora memiliki feeling bahwa mereka akan sangat dekat nantinya, yah hanya sebuah feeling saja. Ketiga teman barunya itu sangatlah unik dengan kelebihannya masing-masing. Dimulai dengan Shatira yang memiliki tubuh jangkung dengan berwajah latin yang berasal dari darah Ayahnya. Rambutnya ikal panjang dan dibiarkannya tergerai yang membuat sosoknya seperti model di dalam lukisan Van Gogh. Hidungnya yang mungil dan mancung, matanya yang bulat besar berwarna hazel serta bibirnya yang cukup menarik membuat Shatira sudah memiliki penggemar di awal perkenalannya di kelas tadi.
Irene memiliki darah Inggris yang sangat kental terlihat dari sosoknya yang di dapatkan dari ibunya. Irene memiliki rambut pirang sebahu dengan di beberapa sisi memiliki warna coklat. Kulitnya putih dan mulus. Irene bisa dibilang sangat cantik dengan warna mata biru sebiru lautan yang membuatnya seperti peri laut. Memang tak setinggi Shatira yang kelewat jangkung tapi tinggi mereka hanya berselisih beberapa centi.
Dan Sasi adalah sosok termungil diantara kami berempat, yah karena bisa dibilang begitu karena postur badan kami yang tinggi. Sasi memiliki darah Jepang dari ayahnya yang terlihat jelas dari mata dan rambutnya. Matanya yang agak sipit tapi terlihat eksotis dengan rambut panjang hitam lurus sangat lurus seperti habis di rebonding. Diantara kami berempat Sasi lah yang memiliki kulit sangat putih dan mulus tanpa cela sedikitpun.
Dan Aurora sendiri memiliki darah Belanda dari Neneknya. Rora memiliki wajah sangat sempurna, dengan lesung pipi menghiasi pipi kanannya yang membuat setiap senyuman yang dia keluarkan terasa menyilaukan. Rora memiliki rambut ikal panjang seperti Shatira tapi warna rambut Rora hitam pekat dan sangat indah. Terkadang dia menguncir rambutnya dan kadang digerainya rambutnya dengan menggunakan aksesoris rambut yang sangat cantik. Kulit yang Rora miliki tidaklah putih, karena Rora mengambil kulit ibunya yang orang Asia Tenggara. Namun perpaduan tersebut membuat Rora tampil menarik dan memukau, yang tentunya tanpa disadari oleh pemiliknya sendiri.

Minggu, 19 Oktober 2014

Memories of You -Teman calon Sahabat-

“Hey kiddo. Gimana pelajarannya? Ngomong-ngomong wali kelas kamu siapa dek?” tanya Rasya penuh selidik sambil menyerahkan sebuah kotak bekal berwarna biru kepada Rora. Rora terkejut karena sekarang di tangannya ada sebuah kotak yang sangat familier baginya.
“Eh, ini kan kotak makanku kak. Ya begitu lah pelajarannya, belum apa-apa udah ngerjain 80 soal. Bu Katrin kak wali kelasnya.” Jawab Rora sambil membuka kotak makannya yang ternyata berisi bekal yang tadi pagi lupa dia bawa. Dan dia sangat bersyukur melihat kotak berisi bekalnya ini karena dia tengah didera kelaparan yang sangat hebat. Melebihi hebatnya tsunami yang bikin Aceh porak-poranda. “Dih, bukan makasih udah dibawain tuh bekal juga. Oh bu Katrin. Eh dia kan guru paling baik dan cantik di sekolah kakak loh, kakak kan anak kesayangannya.” Sambil berjalan mereka mencari tempat duduk untuk mengobrol dan tentunya tempat untuk Rora melahap bekalnya.
“Ehehe, iya makasih kak Rasyaku sayang udah dibawain nih bekalnya. Oh, iya dia bilang kalo kita itu mirip sambil senyum-senyum ke aku tuh. Uhm, kakak kenal sama Harsya Rahadirgantara nggak?” tanya Rora dengan mulut penuh makanan sampai-sampai dia di cubit oleh Rasya. Rasya selalu gemas terhadap adiknya yang tidak sadar bertingkah sangat lucu yang dapat membuat siapa saja jatuh hati padanya.
Seketika itupun ekspresi wajah Rasya yang tadinya ceria berubah keruh. Tentu saja kakak kenal dek, syukur kamu lupa sama dia. Ucap Rasya dalam hati. Melihat kakaknya terdiam cukup lama, Rora melambaikan kedua tanganya 
“Heeey kak, ditanya kok nggak ngejawab. Benar-benar nggak sopan nih. Eh iya aku mau ke perpustakaan dulu yaa. Ingeet, jangan ngikutin aku loh ya.” Jawab Rora yang sudah melenggangkan tubuhnya untuk bergegas menuju perpustakaan. “Ahh yaudah sana, nanti pulang kakak tunggu di pintu gerbang ya” balas Rasya tersenyum melihat tingkah laku adiknya tersebut.
Rasya pun kembali memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh adiknya tadi. 
“Apa ingatan Rora udah kembali? Tapikan Om Henry bilang itu mustahil kecuali,” Rasya tidak ingin memikirkan alasannya lebih jauh, karena hanya kengerian yang terlintas dipikiran serta benaknya. Serta merta dia berjalan menuju kelasnya sambil merengut dan komat-kamit tidak jelas.
Sesampainya di perpustakaan, Rora langsung melihat-lihat koleksi buku yang dimiliki perpustakaan. Mulai dari buku pelajaran yang memiliki tebal halaman lebih dari 1000 halaman yang sudah pasti buku berbau Alam, kan nggak mungkin kalau buku tentang Politik dan kawan-kawannya setebal itu? Apa yang mau dibahas lagi dan pastinya membosankan. Dari satu rak pindah ke rak buku lainnya, akhirnya setelah cukup mengelilingi hampir setengah ruangan perpustakaan Rora tertarik dengan 1 buku, buku yang mengisahkan tentang seorang samurai di Negeri Jepang yaitu Musashi. Sebenarnya banyak buku yang menarik minat Rora, namun sudah sangat lama Rora ingin membaca kisah dari si Samurai tersebut yang sayangnya sampai sekarang belum kesampaian.
Tentu saja karena kerjaan Rora sebagai web designer yang dia pelajari secara otodidak waktu SMP yang membuatnya memiliki penghasilan sendiri yang terbilang cukup besar. Makanya kalo sedang dapat job dadakan Rora akan begadang menyelesaikan kerjaanya itu. Setelah mengambil novel Musashi, Rora duduk dibangku yang ada di tengah-tengah ruang perpustakaan. Lumayan penuh, mungkin banyak murid baru yang suka membaca.
Nah, ini kebiasan buruk Rora yang susah hilang. Ketika dia sedang asyik dengan satu hal, pasti dia melupakan sekelilingnya. Ternyata orang yang sangat ingin dia hindari berada tepat di depan matanya saat ini. Dengan santainya Rora duduk di depan Harsya. Baru setelah membaca beberapa halaman, Rora mengamati dengan secara seksama. Rora ingin memekik kesal namun dia urungkan niatnya itu mengingat berada dimana dia sekarang ini. Kenapa coba dari sekian banyak orang harus ketemu dia lagi, apa dunia ini terlalu sempit? Nggak, dunia terlalu luas banget buat dibilang sempit! Sungut Rora yang tentunya hanya sebatas dalam hati.
Dengan berisik Rora bangkit dari kursinya dan seluruh mata tertuju padanya dengan tatapan kamu-nggak-tau-ya-kalau-ini-perpustakaan dari anak-anak lainya yang dibalas dengan tatapan Iya, aku tau! Tentunya hanya suara hati Rora yang berbicara, 
“Nggak bisa baca peraturannya ya? Udah jelas dilarang berisik, masih aja ngelanggar” ucap Harsya dengan suara yang sangat tenang yang membuat Rora mendelikkan matanya karena kesal. 
“Iya, aku nggak buta huruf tenang aja” jawab Rora dengan ketus. Setelah itu Rora mengembalikan Musashi ke tempat semula dan bergegas pergi.
“Ahhh… kenapa juga harus ketemu si siapa lah itu namanya” sungut Rora yang sudah berada di luar perpustakaan. Dan entah harus pergi kemana sekarang, karena jujur saja dia sendiripun juga tidak tahu harus kemana. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kelas. Tak seperti yang dia bayangkan, ternyata di dalam kelas tidak sepi. Ada beberapa siswi yang juga menghabiskan waktu istirahatnya dengan memakan bekal di dalam kelas.
Ini adalah awal mula perjumpaan 4 orang cewek yang tak saling kenal, yang tak saling memiliki hubungan darah. Yang mungkin memang dipertemukan dengan campur tangan Tuhan, siapa yang tahu akan hal itu? Hanya ada 3 orang cewek di kelas yang sedang sibuk dengan dunianya masing-masing, mungkin keberadaan Rorapun tidak ada yang menyadari sebelum akhirnya Rora menyapa mereka.