Sabtu, 21 Januari 2017

Me, You and Our Memories



Sebenarnya lucu untuk mengingat kala pertama perjumpaan kita waktu itu. Kita yang tak saling mengenal, kita yang entah darimana berasal tiba-tiba dipertemukan dalam suatu persimpangan jalan. Sudah berapa lama waktu berlalu sejak kali pertama kita bertemu? Ah, sudahlah aku ini tidak pandai berhitung apalagi menghitung tiap waktu yang terbuang sejak terakhir kali pertemuan kita.

Masih jelas seperti baru kemarin kita saling bertegur sapa dan melempar senyum malu-malu. Namun aku kembali dari lamunanku ke alam nyata, ke masa kini. Ah, begitu nikmatnya ketika harus kembali mengenang ingatan lalu beserta rasa yang terbungkus di dalamnya.

Kamu cukup jenaka untuk seseorang yang baru pertama kali kujumpa, entah kenapa aku selalu tertawa oleh lelucon yang kau lontarkan di pertemuan-pertemuan berikut kita. Bersyukur sekali diriku ini karena telah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan seseorang yang sangat luar biasa seperti dirimu. Ya, kuucapkan banyak terima kasih untuk Tuhan dan juga alam semesta yang membuat segala hal seperti kebetulan semata. Padahal hal tersebut sudah di atur dalam takdirku, takdirmu, takdir kita.

Sudah ya, aku tidak ingin kembali mengingat kenangan kita. Biarkan kenangan itu berada pada tempat semestinya yaitu kenangan masa lalu. Walau bagaimanapun aku sangat berterima kasih pada semua kenangan yang telah kita bagi bersama.




#10DaysKF #WritingChallange #Day4

A Five something for This Year



Hmm, apa ya kira-kira whistlist untuk tahun ini? Satu dua hal sudah mulai masuk dalam daftar hal ‘yang harus diwujudkan’ sesegera mungkin. Mulai kembali menata hal-hal ke dalam skala prioritas, agar semua hal terkendali dan berjalan pada relnya.
Jadi di sini aku ingin berbagi, ingin bercerita sedikit tentang hal-hal yang menjadi whislistku tahun ini. Nggak mau muluk-muluk kok seperti menjadi artis Hollywood dan menikah di tahun ini(ups, keceplosan kan hahaha). Jadi, yuk kalian intip top 5 my whistlist.


1.      Menyelesaikan naskah cerita yang masih menggantung

Kalau untuk yang satu ini memang harus benar-benar mengeluarkan tenaga ekstra sepertinya. Masih sering kesusahan untuk konsisten tiap harinya menulis, lebih kepada menulis ketika sedang memiliki mood. Kalau lagi nggak mood, yasudah itu naskah ditimbun banyak-banyak dalam leptop.

2.      Berkuliah

Nah ini dia! Sejak aku lulus dari bangku SMA aku memilih untuk bekerja, namun sayang hanya 1 tahun aku bertahan untuk bekerja. Tahun 2016 hingga saat ini aku masih belum meneruskan kuliahku dan yaah banyak hal-hal yang cukup menjadi pengisi hari-hariku sebelum berkuliah. Mohon doanya saja, semoga tahun ini dapat berkuliah mengambil jurusan Sastra Jepang. Aamiin J

3.      Got a freelance job

Masih mencari sana-sini freelance yang mau menerima keahlian yang aku miliki, terlebih dalam bidang menulis. Jika saja ada yang menginginkan kemampuanku dalam mengajar anak SD atau SMP sepertinya aku sangat menyanggupi hal tersebut. Maklum umur semakin bertambah, kebutuhan pun mau tidak mau semakin bertambah jumlah dan juga uang yang harus dikeluarkan.

4.       Menambah koleksi buku

That’s one of my reason to get a job a soon as possible. Supaya aku bisa kembali mengoleksi buku-buku lagi seperti jaman SMA dulu. Aku ingin memperluas wilayah membacaku, ingin melebarkan sayap ke buku-buku yang memiliki unsur fantasy, science fiction, classic dan masih banyak buku lainnya yang sudah kusiapkan list panjang untuk segara dibeli. (Mohon bersabar, ini ujian hahaha J ).

5.      Menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya

Siapa sih yang nggak punya keinginan untuk memperbaiki diri? Sungguh, aku sedang dalam masa untuk memperbaiki diri sebaik-baiknya. Bertemu dengan orang-orang baru, tempat baru untuk disinggahi, menemukan jati diri dan mungkin mulai memikirkan masa depan(cari jodoh misalnya). Untuk jodoh mungkin belum terlalu panik ya, karena umurku saja baru di awal 20 dan baru saja jadi masih fresh from the oven. Ah iya, terima kasih untuk orang-orang yang selama ini mendukungku dalam keadaan senang maupun susah. Maafkan aku yang terkadang kekanakkan. Karena kenagan tak ‘kan lekang oleh waktu, tetap hidup dan melekat dalam kotak kenangan di dalam otak.





#10DaysKF #WritingChallange #Day3

Kamis, 19 Januari 2017

Things That make me Scream at Loud

  
   
Histeris? Terlalu senang? Ekspresif? Terbawa suasana? Apalagi, coba sebutkan! Cukuplah ya, kurasa sih. Jadi kali ini aku akan membahas tiga hal yang membuatku melonjak histeris. Apa saja ya kira-kira? Pasti jika yang sudah mengenalku lama tahu betul bahw abanyak hal yang mampu membuatku tiba-tiba berubah histeris. Tapi, bagi kalian yang belum mengenalku yuk kita lihat tiga hal apa saja yang akan membuatku histeris seketika.

1.      Jika ada seseorang yang tengah membahas drama korea, anime jepang, lagu-lagu Korea, Jepang atau barat.

Kenapa, kok bisa histeris dengan hal seperti itu? Yah karena mereka semua adalah temanku dikala semua hal terasa begitu membingungkan dan membuatku penat. Ketika kurasa semua hal tidak berjalan pada relnya, aku selalu saja mencari pelarian. Merekalah (drama, anime dan lagu) yang membuatku dapat histeris tiba-tiba, bahkan saat berada di tempat umum sekali pun.


2.      Terlalu menghayati ketika membaca novel

Maklum, untuk yang satu ini benar-benar suka susah dikendalikan. Saat membaca buku, aku selalu bisa masuk ke dalam cerita yang kubaca. Di tiap-tiap adegannya jika memang itu lucu aku akan tersenyum atau tertawa sendiri secara tiba-tiba. Saat cerita tersebut masuk ke bagian konflik aku pun berdoa agar tidak akan ada hal yang mengerikan menimpa si tokoh utama. Biarlah semua berakhir dengan bahagia dan aku pun dapat tersenyum puas setelah menutup lembaran terakhir dari novel tersebut.

3.      Jika bertemu cowok ganteng, tipe ideal dan sedang berolahraga

Hal di atas memang sangat sulit untuk tidak histeris. Bagaimana ketika kamu menemukan cowok ganteng yang merupakan tipe idealmu sedang berolahraga? Entah itu jogging, renang, basket, voli atau bersepeda?? Kurasa saat itu juga nyawaku melayang terbang menuju langit ketujuh. Aish, jadi ya gitu sih cuma histeris-histeris doang jejeritan dan endingnya curhat sama sobat. Tapi yaudah, euforianya bakal hilang seperti hembusan angin laut. 

#10DaysKF #WritingChallange #Day2

Rabu, 18 Januari 2017

Kekasihku adalah Dia




Untuk dia yang kelak akan mengisi hatiku, menjadi sosok kekasih yang dapat kusandarkan diriku pada bahunya yang kokoh.


Apa kabar kamu hari ini? Semoga  senantiasa sehat dan juga tersenyum di pagi mendung nan dingin ini. Bukankah, kita sebagai manusia biasa memiliki suatu keinginan atau bisa dibilang keegoisan sendiri? Ya, aku ini hanya wanita egois yang menginginkan hal-hal baik yang ada padamu. Bukan, bukan karena aku tidak menyukai dirimu apa adanya.

Karena cinta apa adanya itu hanyalah suatu ucapan di bibir yang mengkhianati hati. Boleh tidak, aku menuntun sedikit perubahan dari dirimu? Hanya sedikit saja, aku tidak berniat untuk merubah dirimu sepenuhnya. Karena, jika itu terjadi mungkin kamu akan pergi meninggalkanku yang sudah terlanjur jatuh hati padamu.

Apa yang kuinginkan? Benar kamu ingin tahu apa yang hati dan otakku inginkan darimu? Dengan senang hati akan kuceritakan kepadamu, tolong duduk yang manis dan perhatikan diriku saja ya.

Aku tidak suka laki-laki perokok.  Karena aku memiliki gejala asma yang terkadang kambuh. Terlepas dari sakit yang kuderita, aku tidak ingin kekasihku menyakiti dirinya sendiri dengan menghisap racun tiap kali kamu menyulut sebatang rokok.

Aku sangat menyukai laki-laki yang suka berolahraga. Aku pun sangat menyukai olahraga, entah apa pun itu. Dan aku memiliki sebuah angan-anagn dapat berolahraga bersamamu, bukankah hal sesederhana itu sangat manis?

Jangan larang aku, nasehatilah aku dengan nada-nada lembutmu. Sungguh, aku ini orang yang sangat perasa. Aku tidak suka nada-nada keras dan aku lebih suka jika kamu menasehatiku bukan malah melarangku melakukan hal-hal yang menurutmu tidak baik tapi bagiku hal itu sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah. Lebih baik kita berdiskusi, saling bertukar apa yang menurut kita baik dan tidak.

Bukankah laki-laki itu calon imam kelak? Mari kita berjuang dari 0 sejak sekarang. Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang kekasih yang mandiri dan juga bertanggung jawab? Aku pun menuntut hal itu darimu. Maafkan aku, sepertinya ini hal berat untuk kamu lakukan. Tapi percayalah, kamu tidak berjuang sendirian. Karena akan ada selalu aku yang senantiasa berada di sampingmu, menemani tiap langkah yang kamu ambil dan mendoakan tiap-tiap pilihan yang menjadi pilihanmu.

Terima kasih sayang, maafkan aku wanitamu yang masih tidak tahu diri ini. Menuntut banyak hal darimu bahkan kamu hanya menuntutku untuk tetap menjadi kekasih yang baik dan senantiasa bersamamu dalam keadaan apa pun.


Di sudut ruangan, 18 Januari 2017
#10DaysKF #WritingChallange #Day2

Selasa, 03 Januari 2017

HUJAN KEMARIN



Ketika pertemuanmu denganku menjadi awal dari sebuah kegelisahan tak berujung, masihkah kau ingin bertemu denganku? Atau setidaknya menyapaku ketika hari beranjak meninggalkan butiran-butiran kenangan yang kuhirup debunya dan kembali masuk memenuhi tiap ruang di rongga dadaku. Bertemu lalu berpisah seperti sepasang sejoli yang ditakdirkan bersama. Karena semua sudah memiliki konsekuensinya, begitu pun pertemuanmu dan diriku. Pertemuan tak terencana yang hanya akan berujung pada perpisahan.   

Ingatkah, kedai  kopi yang dulu sering ku datangi? Pertemuan pertama kita, awal mula terjalinnya benang-benang takdir antara dirimu dan diriku. Benang takdir yang menuntut pertanggungjawaban atas akhir dari kisahnya. Yang sampai saat ini pun masih menjadi penantian favoritku, menanti akhir yang pasti dari jalinan benang takdir antara kita. Tentang hal yang membuatku teringat akan perjumpaan pertama kita di kala hujan. Hujan yang basah, hujan yang lembab dan hujan pulalah yang mengantarkanku untuk kembali menyelami ingatan tentang kita. Menarik serta memaksaku kembali menggali kenganan yang terkubur dalam memori otakku.

 Ingat kan, kamu datang dengan kuyup dan pakaian setengah basah yang membuatmu tampak lusuh. Dengan terburu masuk ke dalam kedai, membuat semua tatapan menuju ke arah datangmu. Kamu yang cuek tidak mengindahkan tatapan tajam para pengunjung yang terganggu. Dengan terburu kamu memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk yang selalu menjadi langgananku. Di sudut belakang, tempat dimana aku bisa mengamati seluruh pengunjung kedai.

Entahlah, aku hanya mengikuti intuisi yang seringnya membuatku terkejut. Terkadang perasaan deja vu memutarkan rekamannya di kepalaku, seperti sudah berabad-abad lamanya hal tersebut pernah menimpaku. Aku pun mengalihkan perhatianku kepada gelas kopi , yang sudah meraung-raung kepulan asapnya. Memintaku untuk segera menyesapnya selagi masih panas.  Sesapan pertama memang selalu menjadi daya tarik tersendiri, ketika rasa dari kopi dan latte menyerbu tenggorokanku. Getirnya kopi terobati dengan latte yang begitu milky.

 Seperti pasang surut gelombang air di lautan, begitu pula dengan keadaan kedai ini. Ada kalanya ramai begitu pun sepi dan hari ini tidak terlalu ramai seperti biasanya, hari ini kedai terlihat lengang. Hanya ada beberapa kursi yang terisi oleh muda-mudi sepertiku yang terjebak hujan. Memilih untuk singgah di kedai yang menawarkan kehangatan nyata. Bukannya berlari menembus hujan deras dengan resiko sakit sepanjang akhir pekan.   

Bodohnya aku yang selalu saja suka memandangi wajah orang yang baru kutemui. Mengamati memang salah satu kegiatan favoritku, kegiatan yang memberikanku kesempatan untuk melepas rasa jenuh akan dunia perkuliahan. Tanpa sadar tatapan kami bertemu, memberikan semacam efek kupu-kupu yang beterbangan dan juga jantungku yang memlompat-lompat tak karuan. Seketika itu pula, duniaku membeku terpaku hanya pada sosoknya. Tanpa adanya aba-aba, dia melempar senyuman jenaka. Senyuman yang jika bisa ingin kuabadikan dalam jepretan foto.

Namanya Arga, Argandanu Wibisono. Penyuka kopi hitam dan  menggambar sketsa. Banyak sketsa karyanya yang mampir di jemariku, membuatku semakin penasaran akan sosok pria dengan sketsa apiknya itu. Sketsa ibu hamil memegang tangan putrinya yang sedang berjalan-jalan di taman, sangat cantik dan menawan. Di antara sketsanya, aku paling suka dengan sketsa itu. Ya, entah kenapa ada kebahagian dan kerinduan yang tertangkap dalam sketsa tersebut. Atau mungkin, itu perasaan nyata dari si pembuat sketsa. Entahlah, karena bagiku Arga adalah kepingan-kepingan puzzle penuh misteri yang masih belum bisa kupahami. Kami pun semakin dekat, dia tahu aku penggemar latte dan juga lagu-lagu John Mayer.  

Keesokannya, seperti biasa pada jam yang sama aku menunggu Arga. Sejak bertemu dengannya, aku mengenal arti dari menunggu. Bahkan, kurelakan waktuku berjam-jam hanya untuk melihat sosoknya. Ironis memang ketika hanya sebentar waktu yang kami habiskan berdua, berbanding terbalik dengan waktu yang kuhabiskan untuk hanya menunggunya. Hingga tetesan terakhir dari latte yang kupesan, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan datang dan memamerkan sketsa barunya padaku. Dengan berat hati aku melangkah keluar, karena aku merasa tercekik jika berlama-lama berada di dalam kedai tanpa ada kepastian akan kedatangannya. Segumpal perasaan kecewa mengiringi kepulanganku.

Siang harinya, Arga sudah duduk di kursi kesukaan kami. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Seolah kemari bukanlah masalah besar baginya, dia tertawa dengan nyamannya di hadapanku. Kami pun tenggelam dalam percakapan yang membawaku melupakan kekesalanku kepadanya tempo hari. “Kenapa kamu suka sekali dengan kopi hitam?” Aku bertanya padanya tiba-tiba, dia juga terkejut sesaat dan tersenyum jenaka. “Karena aku suka kamu yang meminum kopi latte” jawabmu sambil menyunggingkan senyum favoritku.

 Tiba waktunya aku disibukkan oleh aktivitas kampus yang menyita waktu, tenaga serta pikiranku. Membuatku absen dari kedai kopi selama dua minggu. Rasanya aku ingin segera mengakhirinya dan bertemu dengan Arga. Aku rindu senyum jenakanya, terlebih lagi aku merindukan skesta-sketsa indahnya tentang kehidupan. Saat semua selesai, aku bergegas menuju kedai kopi. Menemui Arga yang tengah melamun dengan tatapan nanar.

Apa saja yang kulewati selama dua minggu ini? Dia bukan Arga jenakaku.

Dia berubah. Menutup diri, membangun dinding tinggi menjulang yang sulit kudaki. Entah apa yang telah membuatnya tenggelam sebegitu dalam. Bahkan dia pun tidak lagi memamerkan sketsa-sketsanya padaku. Dia hanya diam, menyesap kopi hitamnya dan sesekali tersenyum sendu. Senyum jenaka yang membuatku hangat dan terburu untuk menantikan pertemuan berikutnya kini menghilang tergantikan dengan obrolan singkat dan hambar. Dia pergi, meninggalkan sejuta pertanyaan tak terjawab untukku. Kembali lagi aku sendiri, menyesap kopi latte di sudut kedai kopi.

Jejaknya masih bisa ku ikuti, hangatnya masih terbayang-bayang menggenggam jemariku. Hanya sosoknya yang tak lagi temani hariku. Hari demi hari beranjak menjadi minggu. Minggu membisikkan kepada bulan bahwa dia sudah berganti nama dan berlalu tanpa mau menunggu. Aku kembali membiasakan diri untuk tidak mengingat rasanya yang tertinggal di tiap sudut ruang hatiku.

Pagi itu, sepucuk surat berwarna biru. Biru, warna kesukaanku. Diantar oleh pelayan kedai kopi dan dia berkata “Mas gantengnya nitip ini sudah dari lama, tapi minta dikasihnya hari ini mba” Semua kini jelas, jutaan pertanyaan tak terjawabku hanya dijawab oleh sepucuk surat darinya. Karena hitamnya kopi kesukaanya tidak sehitam dan sepahit kehidupannya. Bukan tanpa sebab dia pergi tinggalkan aku. Karena Tuhan maha adil. Bertemu lalu berpisah, begitulah takdir yang harus kami lalui.


Aku tetap percaya dia akan kembali. Karena Arga hanya sedang berlibur dan dia akan kembali. Yakinku dalam hati. Dia bukanlah penyuka kopi hitam seperti yang kutahu. Arga yang kukenal bukanlah Argantara Syailendra. Akan tetapi Arga yang ku kenal adalah pengisi hatiku. Mas-mas berjaket lusuh yang bilang suka melihatku meminum latte. Ya, dia akan kembali. Menikmati kopi hitamnya denganku.      

Jumat, 08 Mei 2015

Kimi wa Love Story



                                                                                  

          “Lo cari ke sebelah sana dan gue akan cari ke sebelah sini” ucap Rinto kepada Kazehaya yang sedikit banyak mengerti bahasa yang diucapkan oleh Rinto padanya.

Mereka sedang mencari Alena yang mana merupakan adik dari Rinto. Alena menyusul Rinto ke Shibuya dengan maksud untuk mendamaikan Kakaknya dengan Ayahnya yang sempat bertengkar hebat. Lantaran Rinto yang sudah salah paham kepada Ayahnya.

Alena tidak mengenal Jepang sebaik Rinto mengenalnya. Rinto merupakan anak dari istri pertama ayah mereka. Ibu Rinto merupakan orang asli Jepang, beliau meninggal karena sakit leukemia. Dan setelah itu Ayah Alena kembali ke Indonesia dan menikah dengan Marina dan melahirkan Alena.

Meski hanya saudara tiri, Rinto sangat menyayangi Alena. Begitu pula dengan Alena yang sangat menyayangi kakaknya. 

          “Bagaimana Kazehaya? Sudah menemukan Alena?” Tanya Rinto di telponnya dengar gusar.
               “Aku menemukannya aku menemukannya, Alena sedang berdiri di depan patung Hachiko dan terlihat sedih. Segeralah kemari” tutup Kazehaya di telpon dan berjalan menuju Alena.

Apa yang sedang kamu pikirkan Alena? Kenapa kamu tampak murung? Batin Kazehaya.

        “Hai Alena chan, kamu sedang apa?” Tanya Kazehaya yang sudah berdiri di samping Alena. Membuat gadis itu sedikit terkejut hingga membuatnya akan jatuh ke samping jika Kazehaya tidak cekatan menangkap tubuhnya.

          “Eeeeeh, Kazehaya kun. Eeeee, kok kamu bisa ada di sini? Onii chan dimana?” ucap Alena gugup karena merasa takut akan dimarahi dan juga karena terlalu dekat dengan Kazehaya.

Jangan mendekat lebih dari ini, cukup disitu saja! Jerit batin Alena.

          “Hahaha, kamu kabur atau bagaimana? Nah sekarang beri aku penjelasan” tuntut Kazehaya sambil melipat kedua tangannya di dada.
        “Aku, aku tidak kabur kok,  aku hanya sedih saja. Coba kalau Akiko san masih hidup, bukan maksudku Ibu masih hidup. Mungkin ada yang bisa menasehati Onii chan, kamu tahu Onii chan itu keras kepala kan. Aku hanya ingin Onii Chan dan Ayah berdamai tidak bermusuhan lagi” jawab Alena dengan wajah sendunya yang tidak cocok sama sekali dengan kepribadian ceria dan hangatnya. Seperti sinar Matahari.

Tiba-tiba saja Kazehaya menarik Alena ke dalam pelukannya.

          “Kazehaya kun..”
       “Aku benci melihat wajahmu saat ini, jika ingin menangis ya menangis saja. Aku selalu bersedia meminjamkan tempat ini, tempat dimana tak ada yang tahu kau sedang menangis. Nah, sekarang..”

          “Kazehaya kun no baka.” Jawab Alena lirih sambil menangis di dalam pelukannya.

        “Ah, gomen. Aku memang bodoh. Nah, anak pintar. Menangis yang puas ya” ucap Kazehaya sambil mengusap lembut rambut dan punggung Alena.

Tak lama kemudian, Rinto sampai dan melihat mereka berdua yang saling berpelukan. Rinto mengenal betul bagaimana Kazehaya yang tidak akan mungkin bersikap seperti lelaki brengsek. Malahan, Rinto tertegun melihat si sobatnya bisa melakukan hal semanis itu kepada perempuan. Dan perempuan itu adik tercintanya.

Ah, kamu jatuh cinta pada adikku kan? Dasar bodoh, pantas saja Kazehaya bertingkah seperti itu. Haha, dasar bodoh. Kazehaya bodoh dan juga Alena. Ah, adikku tercinta.

          “Hmm, apa kalian tidak tahu malu berpelukan di depan umum? Lihatlah, orang-orang mulai menatapi kalian.” Ledek Rinto yang dating tiba-tiba mengagetkan mereka berdua yang langsung melepaskan pelukannya.

          “Onii chan..” jawab Alena dengan berlinang air mata lalu menghambur pergi ke arah Rinto.

             “Hei, kiddo. Kenapa kamu menangis, apa Kaze melakukan sesuatu padamu??”
tanya Rinto yang tidak mengerti mengapa Alena menangis.

          “Ini gara-gara onii chan. Cepatlah berbaikan dengan Ayah, onii chan tau kalau ayah sedang sakit?? Ayah sangat sayang padamu kak dan Ayah juga sangat mencintai Ibu Akiko, jadi tolong berbaikan lah dengan Ayah dan kunjungi beliau di Indonesia,” papar Alena di tengah isakan tangisnya.

           “Haah, baiklah baiklah. Aku akan pulang ke Indonesia dan hentikan tangisanmu itu Lena sayang kumohon. Aku tidak imun dengan tangisa wanita, terutama adikku sendiri,” pinta Rinto pada adiknya itu.

         “Baiklah, asal kakak janji akan ikut pulang denganku besok. Ah iya aku sangat lapar, gara-gara kakak aku tidak makan masakan ibunya Kazehaya yang sangat lezat.” Ucap Alena manja sambil cemberut pada Rinto.

           “Nah, apa kamu ingin makan di sekitar sini atau kembali ke rumah Kaze? Hyaaa, kenapa kau diam saja Kaze? Lidahmu sudah tak berfungsi lagi, ha?” ledek Rinto. 

          “Hmm, kita kerumah Kaze saja kak. Bagaimana Kaze kenapa diam saja?” tanya Alena bingung melihat wajah Kaze yang tampak murung tidak seperti tadi.

      “Ah gomen, silahkan jika ingin makan dirumahku.” Jawab Kazehaya sambil tersenyum.

Kenapa cepat sekali Alena? Bahkan, aku belum sempat mengungkapkan perasaanku padamu? Keluh Kazehaya yang langsung tampak lesu. Memperlihatkan raut wajahnya yang kecewa.

Mereka bertiga berjalan beriringan menyeberangi Shibuya Cross. Dengan Rinto di depan, Alena berada di tengah dan di belakang ada Kazehaya. Karena terlalu banyak penyebrang jalan, sehingga membuat Alena terpisah dengan Rinto. Dalam kebingungannya, tiba-tiba ada yang menggandeng tangan Alena dari belakang.

          “Jangan sampai lepas, berpegangan yang erat ya.” ucap Kazehaya yang menerobos kerumunan orang sambil tersenyum simpul kepada Alena.

Sesampainya di rumah, Alena langsung meminta maaf dan juga berterima kasih kepada Ayah, ibu serta adik Kazehaya karena sudah mau menerimanya di dalam keluarga Miyazaki.

          “Arigatou gozaimasu, Ojiisan to Okaasan to Rina chan. Musim panas ini aku pasti kembali,” janji Alena kepada mereka. 

           "Main lah lagi kemari, pasti akan bibi masakan makan yang sangat lezat untukmu sayang." ucap bibi Aida, ibu Kazehaya.

            "Iya, onee chan. Main kemari lagi ya, nanti nee chan akan Rina ajak ke pantai dan jalan-jalan mengelilingi Shibuya," ucap Rina dengan penuh semangat.
    
         "Sampaikan salamku untuk Ayahmu di Indonesia. Sampaikan juga, kaki Gunung Fuji menantinya di Jepang." ucap Paman Takeda, Ayah Kazehaya.

Dan tiba saatnya aku berpamitan kepada Kazehaya. Tanpa malu aku langsung memeluknya, serta mendekatkan bibirku ke telinganya.

       “Kazehaya kun, atashi wa anata ga daisuki. Ja, Sayounara” ucap Alena berbisik di telinga Kazehaya.


3 bulan kemudian saat musim panas tiba.


Kazehaya berlari dari rumahnya menuju Shibuya cross. Kali ini aku harus bisa mengucapkannya. Tak lama ia sampai, sudah ada sesosok perempuan yang menunggunya. Saat lampu pejalan kaki berwarna hijau, mereka saling mendekati. Tak menghiraukan orang-orang yang melintasi mereka.


          “Atashi mo, atashi wa anata ga daisuki desu Alena Arindihita.” ucap Kazehaya yakin seyakin matahari yang terbit di esok hari.

 Mereka pun berpelukan ditengah persimpangan terpadat di dunia tanpa menghiraukan tatapan mata yang tertuju pada mereka. Seakan di tempat itu hanya ada mereka berdua.

Rabu, 06 Mei 2015

London



    Aku ingat janji itu. Mana mungkin aku bisa lupa? Otakku tidak di setting untuk melupakan hal sepenting itu. Seperti tahun lalu, tahun ini pun aku menunggunya di depan menara Big Ben. Karena hari itu dia mengajakku melihat kembang api yang setiap pergantian tahun selalu meriah ditonton oleh ratusan warga London.

            Aku tahu Tony tidak akan mungkin lupa dengan janji yang dibuatnya. Dan yang bisa kulakukan adalah menunggunya dimalam tahun baru 2 kali berturut-turut, berharap dapat bertemu dengan sosoknya yang sangat aku rindukan.

           Tak ingin rasanya aku kembali ke Indonesia, aku harus memastikan bertemu dengan Tony terlebih dahulu. Memastikan perasaanku, perasaanya, perasaan kami. Alex sudah menasehatiku berkali-kali untuk segera pulang ke Indonesia dan melupakan Tony yang tidak menepati janjinya. But my heart tells I have to wait and stay here for my true love. Meskipun aku tahu akan sakit menunggu tanpa kabar dan kepastian yang jelas dari Tony.
            30 Desember 2012 dia menemuiku. Wajahnya, senyumnya bahkan kehangatan pelukannya masih bisa kurasakan dengan jelas.

         “Kamu sakit sayang? Wajahmu terlihat pucat” Tanya Tony sambil mengamati wajahku dengan sangat dekat, membuat wajahku memerah karena malu.

          “How’s your day? Aku baik-baik saja, kamu tahu kan aku kurang bersahabat dengan winter.” Jawabku sambil merapatkan sweater wol yang membuatku tetap hangat.
Tiba-tiba Tony menarikku ke dalam pelukannya, lama sekali.

         “Hariku tidak lengkap tanpamu, dan setiap detiknya aku merindukanmu Amara.” Ucap Tony lembut sambil mengelus rambutku yang kubiarkan tergerai.
Ku kecup pipinya dengan lembut dan kuberikan senyuman termanisku untuknya. Tony mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya dan memberikannya kepadaku.

            “Hadiahku untukmu sayang, sini kupakaikan.”

            “A for Amara?”tanyaku

        “Nope, A for Antonio it’s yours. And this is A for Amara” jawab Tony sambil menunjukan kalung dengan inisial sama yang menggantung di lehernya.

          “Terima kasih, I’m a very lucky girl that have you as my boyfriend. Apa rencana kita untuk malam tahun baru?” tanyaku antusias sambil meletakkan jas Tony di gantungan.

           “Bagaimana kalau besok kita ke Menara Big Ben melihat kembang api? Hmm, besok juga ada yang mau aku sampaikan ke kamu.” Ucap Tony dengan ekspresi serius yang membuatku ingin tertawa melihatnya.

            “Apa itu? Kenapa tidak sekarang saja?”tanyaku penasaran sambil menggodanya.

       “Tunggu sampai besok ya Amara, aku janji akan mengatakannya besok di saat pergantian tahun.” Ucap Tony sambil mengedipkan matanya. Yang artinya tak akan ada pembahasan lagi. Dan malam ini kami habiskan dengan keceriaan tak berujung dengan canda tawa.

Dan tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa itu terakhir kalinya. Itu kenangan terakhirku dengan Tony sebelum dia menghilang tanpa jejak.

Kalian tahu hari-hari yang kulewati tanpa dirinya? Neraka! Aku terus mengunjungi tempat-tempat yang sering kami singgahi berharap akan bertemu dengan dirinya di situ.

Ku telusuri London Eye pada hari ini. Hari berikutnya, ku telusuri Trafalgar Square. Berikutnya aku datangi British Museum berlanjut ke Natural History Museum. Yang terakhir ku datangi restaurant F Cooke’s di Hoxton Street. Begitu pula hari-hari berikutnya.

         “Kenapa? Kenapa kamu menghilang Tony?” ucapku merana. Tak sanggup lagi ku bendung air mata yang kini membuat mataku kabur. Aku tak sadar ada seseorang yang duduk dibangku yang biasa Tony duduki.

           “Hai, Am. Still thinking about Tony?” Tanya Alexandra, teman sekaligus sahabat Amara. Alexlah yang selalu menemani Amara semenjak kepergian Tony yang tak terduga.

             “Oh, Alex. Sedang apa di sini?” tanyaku sambil menyeka air mata sembarangan.

         “Kamu tahu bukan julukanku?? Alex The Psychic, jadi aku tahu pasti kamu akan kemari makanya aku pergi kemari dan betul saja bukan.” Jelas Alex seperti biasanya. Ceria bersemangat dan juga mendramatisir.

            “Antonio Rayden, isn’t it? Gosh, it’s been two years Am. Just try to move on, find a new life find a new love. Or you can back to Indonesia, to your fams.” Ucap Alex lagi kepadaku. 

Katanya-katanya membuat air mataku tiba-tiba mengalir. Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum lemah kepadanya. 
Aku tahu aku harus melepaskan Tony dari hidupku, tapi bagaimana caranya jika dihatiku hanya tertulis namanya?

            "What should i do? I can forget him with my mind but i can't with my heart Lexi. What should i do? Tell me, tell me please." ucapku merana dan sesak. Dengan air mata yang sudah sepenuhnya memenuhi kedua mataku.

          "Should i call your mom or your brother to pick up you from here? Sebaiknya kamu pulang ke Indonesia, lupakan Tony dan kembalilah ceria seperti Amara yang kukenal dulu. Tidak, sebaiknya aku saja yang mengantarkanmu pulang." Ucap Alex dengan yakin.

 "Ya, memang sebaiknya aku harus pulang ke keluargaku. Sungguh ingin mengantarku ya ke Indonesia? atau ingin melihat kakaku Lex?" ucapku tersenyum jahil sambil menyeka air mataku sembarangan dan tersenyum pada sahabatku ini.

 “Tumben sekali kamu tidak mendebatku? Rindu kampung halamanmu Am? Yah, bagaimanapun juga aku ingin pergi ke Indonesia dan bonusnya bertemu kakakmu” Jawab Lexi tersenyum.