Senin, 12 Januari 2015

Mata Untukmu, Nak..





Pagi itu terlihat cerah dan terik, karena dari apa yang kusebutkan bisa kurasakan tengah menyengat permukaan kulitku. Karena aku sadar tidak akan pernah bisa menatap langsung indahnya matahari yang tengah memandikan seluruh manusia dengan sinarnya yang indah. Tapi, walaupun seperti itu aku masih bisa dan selalu bisa melihat hal-hal itu dengan mata hatiku. Walau pasti rasanya berbeda dan akan lebih indah.

“Ah tidak tidak! Seperti ini juga sudah sangat indah.” Ucapku sambil mencari-cari tongkat untuk membantuku berjalan.

Hari selalu menjadi hari tanpa berganti siang ataupun malam. Tak perlu ku melihat semua hal dengan kedua mataku jikalau aku memiliki seluruh hal yang kubutuhkan untuk melihat bagaimana dunia tanpa mataku yaitu Keluragaku. Karena mereka adalah duniaku.

Setiap pagi Ayah, Ibu, Mas Rendra dan Evelin selalu menyambutku dengan cerita. Mereka tidak sekalipun absen menceritakan betapa indah dan cantiknya setiap pagi, siang dan sore tanpa sekalipun berniat menyinggung perasaanku. Dan aku selalu merasa terharu dengan semua yang mereka berikan padaku. Meski hatiku sedih dengan tanpa adanya sebuah mata yang membantuku, tapi aku cukup dan luar biasa bahagia sekarang.

Seperti hari-hari biasanya, hari inipun kuhabiskan dengan membantu ibu. Ayah dan Mas Rendra bekerja di kantor dan Evelin pergi sekolah. Memang terkadang bukan membantu, malah terkadang aku membuat ibu susah. Namun ibu hanya tersenyum tanpa pernah memarahiku.

Aku sudah menyelesaikan studyku di jurusan Sastra Jerman sebelum kecelakaan tersebut merenggut penglihatanku. Ayah, Ibu dan Mas Rendra sudah berusaha semaksimal mungkin mencarikan pendonor untukku, namun jodoh belum juga kutemukan hingga saat ini.

Suatu pagi, ibu mengajakku pergi berbelanja ke pasar yang letaknya lumayan jauh dengan naik becak. Beliau tidak pernah sekalipun malu memiliki anak yang buta sepertiku, beliau tidak pernah menyembunyikan keberadaanku karena beliau selalu saja mengikutsertakanku kemanapun beliau pergi ke luar rumah. Dan selalu kusambut dengan sukacita ketika ibu mengajakku untuk bepergian.

Dan di sanalah aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tak pernah kutemui sebelumnya. Entah bagaimana rupanya, yang kurasakan dia memiliki tubuh yang tinggi melebihi tinggi Mas Rendra yang hanya 175 cm.

Aku tak sengaja berpisah dengan ibu di pasar, dan tentu saja aku bingung harus pergi ke arah mana. Namun aku terus dan terus berjalan tanpa sekalipun memanggil ibu, yang sebenarnya aku sudah sangat sangat ingin menangis karena ketakutan.

Aku pun duduk berjongkok menenggelamkan kepalaku di kedua tanganku dan mulai terisak. Tiba-tiba ada sebuah tangan besar dan hangat yang datang menghampiriku.

“Kamu kenapa?” tanyanya. Mungkin baginya aku seperti anak kecil, karena perawakan tubuhku yang memang tidak terlalu tinggi dan terlihat mungil.

“Ibu, aku kehilangan ibuku. Aku tidak bisa melihat” Ucapku sambil menyeka air mata. Mungkin dia baru mengerti ketika aku memberitahukan hal itu.

 Dengan lembut dia membantuku berdiri. “Rumahmu dimana? Mungkin aku bisa mengantarkanmu” ucapnya lagi. Suaranya sangat lembut dan merdu, siapa gerangan pemilik suara itu? Akhirnya aku menjawab dengan suara bergetar. 
“Tidak jauh dari sini, Perumahan Pondok Permai, Jl. Melati No. 17. Terima Kasih dan maaf sudah merepotkan.”

Lengannya yang kokoh menuntunku dengan lembut menuju ke dalam mobilnya. Selama perjalanan kami hanya membisu, hanya ada alunan lagu yang menemani keheningan kami sebelum dia membuka suara.

“Namaku Narayanda Manggar Putra, namamu siapa?” Suaranya yang bagai dentingan piano menghipnotisku. Ketika kutersadar, aku pun menjawabnya.

“Ranjanila Pranandita. Terima kasih ya Nara sudah membantuku.” Ucapku sambil tersenyum.

Kenapa dengan anak kecil itu? Apa dia sedang menangis? Batin Nara yang berjalan mendekati seorang gadis kecil dengan rambut panjang hitamnya yang dibiarkan tergerai dengan cantiknya. Hanya perasaan ingin melindungi yang tiba-tiba memenuhi seluruh rongga hati Nara ketika melihat gadis di depannya ini. Yang ternyata tidak bisa melihat dan dia benar-benar sangat cantik.

Nara mengira dia adalah seorang gadis kecil dan ternyata dugaanya salah. Dia seorang wanita. Jerit Nara dalam hati. Wanita yang sangat rupawan dan juga menawan. Mungkin jika memang benar ada ‘Cinta pada pandangan pertama’ saat inilah Nara merasakannya.

“Nah, sekarang kita sudah sampai.” Ucap Nara yang segera bergegas keluar untuk membantu Ranjani keluar. Ternyata ibu sudah menunggu di depan pagar dengan mimik wajah panik dan juga air mata.

“Apa kamu melihat ibuku?” tanyaku yang sangat khawatir pada ibu.
“Sekarang beliau tengah menanti kedatanganmu dengan wajah panik dan juga air mata, mari kubantu.” Tanpa diminta Nara menuntun Ranjani mendekati ibu.

“Ibu..Ibu.. Ran baik-baik saja. Ran bertemu dengan seorang pemuda baik hati namanya Nara bu.” Ucapku menjelaskan dengan maksud meredam kekhawatiran ibu, namun tidak.
Ibu menangis dan memelukku dengan eratnya. “Maafkan ibu, nak. Ibu ceroboh, hingga bisa kehilanganmu. Ibu tidak akan pernah lagi seceroboh itu.” Ujar ibu disela tangisannya.

Aku pun menyeka air matanya dan menggenggam lembut kedua tangannya. Meyakinkan sekali lagi kepada beliau bahwa aku baik-baik saja. “Ibu, sudah sudah. Ini Ran yang salah. Maafkan Ran ya bu.”

Ketika ibu tersadar bahwa ada orang lain selain diriku, ibu langsung mempersilahkan Nara masuk.

“Terima kasih nak telah membantu putri ibu. Kapan pun jika ada waktu luang mainlah kemari, rumah ini selalu terbuka untukmu.” Ucap ibu dengan ramah dan senyum hangat yang selalu beliau berikan kepada semua orang.

“Bahkan ini adalah suatu anugerah bu, bisa bertemu dengan Ranjani dan juga ibu.” Jawab Nara dengan nada serius yang membuat pipiku merona karena terkejut mendengar ungkapan dari Nara yang sangat jujur.

Sejak saat itu Nara tidak pernah absen mengunjungi rumahku, entah itu pagi atau setelah dia pulang dari kerja. Dia selalu saja berhasil datang di waktu yang tepat.

Keluarga Nara memiliki perusahaan yang sangat terkenal di Negeri ini dan dia mengepalai salah satunya. Akupun merasa sangat tersanjung memilik teman yang sangat berhasil seperti Nara. Ayah, Ibu, Mas Rendra dan juga Evelin sangat menyukai Nara. Nara yang lucu, hangat, supel dan banyak bicara ini telah menyusup ke dalam keluargaku. Diam-diam keberadaannya mengisi ruang dihatiku.

Pernah suatu pagi ibu bertanya padaku ketika tak ada seorangpun berada dirumah selain aku dan ibu.

“Ran, kamu suka ya sama Nara? Ayo, jujur sama ibu ya.” Tentu saja, hal ini akan menjadi pembahasan yang paling ibu sukai. Dan ibu sudah sangat mengerti diriku yang tidak akan pernah berbohong padanya.

“Apa terlihat jelas di wajah Ran bu?” jawabku dengan tersenyum.

“Tentu, tentu sangat terlihat jelas di wajahmu, sayang. Ayo cerita pada ibu.” Pinta ibu dengn paksa, yang dengan senang hati akan ku turuti.

“Ibu masih ingat saat aku hilang di pasar? Saat itu aku sudah mulai mengagumi sosok Nara sebagai penolongku bu. Namun seiring waktu berlalu, Nara selalu saja hadir mengisi hari-hariku, dia bisa membuat Ayah, Mas Rendra, Evelin, Ibu bahkan diriku sendiri merasa jatuh cinta padanya. Dan ketika aku tersadar, rasaku untuknya tidaklah sederhana karena aku mencintainya bu.”

Setelah mengungkapkan isi hatiku, aku tak mendengar suara ibu. Hanya hening yang menyelimuti kami berdua. Ketika kurasa hening semakin mencekikku, aku mencari keberadaan ibu yang masih duduk di sampingku. Ku raba wajahnya yang basah. Ibu menangis? Tapi, kenapa?

“Ibu, ibu kenapa? Kenapa ibu menangis?” tanyaku dengan perasaan was-was. Ibu membelai lembut pipiku dengan punggung tangannya.

“Ibu sangat senang, mendengar kamu menyukai Nara. Karena jujur Ran, Ayah, Masmu dan Evelin juga sangat menyukainya bukan bahkan mereka mencintainya. Dan ibu rasa dia juga mencintaimu.”

Aku terdiam mendengar perkataan ibu, lebih menekankan kepada kalimat terakhirnya. Berharap tentu saja boleh, hanya jangan melampaui batasan agar tidak memanen kekecewaan. Batinku. Langsung saja ku sanggah perkataan ibu dengan alasan yang menurutku realistis.

“Mencintaiku bu? Mencintai aku yang memiliki banyak kekurangan sedangkan dia memiliki sejuta pilihan yang lebih baik di luar sana? Itu bukan cinta, itu hanya simpati dan rasa kasihan.”

Setelah itu, aku dan ibu tidak pernah sekalipun membahas masalah ini lagi. Ya, aku harus sadar dan tahu diri. Cinta tidaklah harus saling berbalas, cukup dengan aku mengakui bahwa aku mencintainya itu sudah lebih dari cukup untuk kusimpan seorang diri dalam hati.

Dan Nara masih seperti biasanya, selalu datang dengan sejuta tawa yang didapatkan entah dari mana asalnya yang membuat suasana rumahku selalu ramai dan hangat.
Malam itu tanpa ada pemberitahuan, Nara mengajakku makan malam dan meminta izin kepada Ayah, Ibu dan juga Mas Rendra.

“Ayah, Ibu dan juga Mas Rendra. Saya ingin mengajak Ran pergi makan malam, apa boleh?”
Semuanya terdiam dan hening, Evelinlah yang memecah keheningan tersebut dengan menjerit kegirangan.

“Boleh boleh tentu saja boleh Mas Nara. Iya kan Ayah, Ibu, Mas Rendra? Pasti Mbak Ran juga mau kan pergi sama Mas Nara?” Dan yang aku dengar hanya tawa seluruh anggota keluarga yang menghiasi ruang tamu pada saat itu.

Malam berikutnya aku bersiap-siap menanti jemputan Nara yang akan datang jam 7. Antara senang, takut, grogi telah bercampur aduk menjadi satu yang membuat kedua tanganku seketika berubah menjadi sedingin es. Aku memakai gaun biru selutut yang kupadukan dengan jaket berwarna pastel yang baru saja ibu belikan.

Gaun sederhana tapi cukup menawan. Kata ibu, gaun itu mengingatkan beliau kepadaku. Mendengar suara mobil berhenti, aku sudah mengenali bahwa itu adalah suara mobil Nara.

Mas Rendra membukakan pintu, mengantar dan menyerahkan ku kepada Nara. Kata pertama yang keluar dari mulut Nara adalah “Sangat cantik” yang membuat pipiku terasa panas karena malu.

“Jaga Ran ya Nar. Dan hati-hati ya kalian berdua dijalan.” Ucap Mas Rendra sambil meremas pundaku.
Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Akhirnya aku memulai pembicaraan.

“Kita mau pergi kemana?” tanyaku setenang mungkin sambil meremas kedua tanganku yang masih dingin.

“Kita mau kerumah orang tuaku Ran. Aku sudah bilang kepada Mama dan Papa akan membawamu, mereka gembira dan segera mengusulkan makan malam. Masakan Mama nggak kalah kok sama buatan ibu.” Dan itu sangat membuatku terkejut, apalagi setelah menyelesaikan perkataanya mobil Nara berhenti. Akupun segera meraih tangan Nara sambil berkata

“Mau apa kita kerumah orang tuamu? A, a, aku” lidahku seketika kelu.

“Shh, tenang Ran. Orang tuaku tidak semenyeramkan apa yang ada di bayanganmu. Dan jangan grogi ya, sini biar aku hangatkan tanganmu.”

Kamipun turun. Nara masih menggenggam erat tanganku tanpa sedetikpun dilepaskannya. Bel pun dibunyikan, tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan aku merasakan sosoknya di depanku yang langsung memelukku dengan hangat.

“Selamat datang sayang, mari masuk di luar sangat dingin.” Ahh, ibu kedua. Sayang aku tidak bisa melihat senyum dari Mama Nara. Batinku. Aku duduk di sofa yang sangat nyaman, dan disampingku sudah ada Nara yang masih menggenggam erat tanganku.

“Ayo kita makan, Ran.” Ajak Nara. Dan lagi aku dituntun menuju meja makan. Semoga malam ini berjalan dengan baik.

Dan aku pun membeku di tempatku duduk, ketika Nara memulai percakapan dengan kedua orang tuanya. “Mama, Papa, ini Ranjani. Wanita yang sangat Nara cintai dan ingin Nara nikahi.” Yang pertama bereaksi adalah Papa Nara yang sangat bahagia mendengar kabar itu.

“Syukurlah Nak, kami turut bahagia. Kami akan bersiap untuk melamar Ranjani untukmu nak. Sudahlah Ma, tahan tangisanmu dihari bahagia ini.”

Aku sangat senang, tapi kenapa? Nara? Akupun langsung bangkit dari bangku dan pergi tak tentu arah. Aku tidak peduli, mereka menganggapku aneh atau kurang sopan. Yang kurasa sekarang adalah sangat takut. Nara langsung mengejar dan memelukku. Tanpa sadar aku menangis tanpa suara di dadanya.

“Kenapa? Itu bukan cinta, aku tahu kamu kasian melihatku. Jangan Nara, jangan kamu kasihani aku” ucapku lirih.

“Dengan apa agar kamu percaya bahwa aku mencintaimu, Ran?” ucap Nara dengan suaranya yang lembut.

“Antar aku pulang sekarang dan antar aku berpamitan kepada kedua orang tuamu.” Setelah berpamitan, kami pulang kembali ke rumah. Ketika sampai, aku langsung bergegas masuk tanpa menghiraukan Nara yang mengikutiku. Nara memelukku dan membisikan sebuah hal yang kuanggap lebih indah dari pada dapat melihat kembali.

“Aku tidak mencintai kelebihanmu, aku pun tidak memintamu menikahiku karena kecantikanmu. Aku mencintai seluruh kekuranganmu dan aku ingin menikahi kamu Ran. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku dengan bersamamu. Sekali lagi, maukah kamu menikah denganku?”
 Akupun terduduk sembari menahan mulutku yang bergetar. Kristal beningpun meluncur mulus di pipiku. Nara melamarku. Melamarku yang memiliki banyak kekurangan.

”Iya, Nara” jawabku. Aku bisa merasakan ada orang lain di ruangan ini. Entah itu Evelin atau Ibu. Namun aku mendengar isakan, entah kebahagia atau kesedihan.

“Ibu? Evelin?” tanyaku. “Ini ibu Ran. Selamat ya sayang, akhirnya Nara melamarmu.”

Setelah melamar secara resmi, 2 minggu kemudian kami menikah dengan acara yang sangat sederhana atas permintaanku yang dengan senang hati dikabulkan Nara.

Seminggu kemudian tiba-tiba ibu jatuh sakit. Beliau diharuskan menjalani operasi karena ibu mengalami kebocoran pada jantungnya yang membuat kami semua shock. Karena ibu menutupi hal ini dari kami semua.

Tanpa menunda, Ayah menandatangani surat pernyataan pelaksanaan operasi. Namun operasi tersebut gagal, karena ibu sudah dalam kondisi dimana jantungnya sudah tidak berfungsi dengan normal. Seketika itupun, duniaku hancur. Mengetahui kabar ini akupun langsung pingsan.

Ibuku, pelitaku, pelindungku, tempatku berkeluh kesah selama ini telah tiada. Kepergiannya membuat lubang baru dihatiku yang tak mungkin akan dapat kututupi dengan kebahagiaan apapun.

Lembabnya tanah kuburan pagi itu masih jelas tercium. Kutaburkan segenggam tanah dan kubisikan kata cinta untuknya.

“Selamat jalan Ibuku sayang, aku selalu mencintaimu. Selalu dan Selamanya”

Setelah seminggu berlalu, Ayah memberi tahu bahwa aku mendapatkan donor mata yang lusa akan kujalani operasinya. Aku senang mendengarnya karena berarti aku akan melihat keluarga kecilku yaitu Nara. Tentunya Ayah, Mas Rendra, Evelin dan Ibu. Ah, lagi-lagi aku pingsan karena terlalu sedih atas kepergian beliau.

Di kamar 305, semua orang menunggu lilitan perban yang menutupi mataku pasca operasi. Akupun meremas tanganku sendiri yang berubah menjadi sedingin es di kutub. Nara mengalirkan dukungannya melalui tangannya yang merangkul pundakku.

Tak lama kemudian, dokter pun membuka perban mataku. Yang ada di lubuk hatiku adalah aku ingin melihat lagi senyuman hangat dan menentramkan milik Ibuku. Aku ingin melihat ibu lagi.

Aku bisa melihat. Jeritku dalam hati. Kuedarkan pandanganku ke semua orang yang berada di depanku. Tak terasa air mata membasahi pipiku, karena aku melihat sosok ibu berdiri di belakang Ayah sambil tersenyum padaku. Senyuman yang aku rindukan itu.

“Ibu.. Ibu.. Ibu..” jeritku. Merasakan kepiluan hati ini, merasakan bahagia ini tanpa adanya beliau di sisiku saat ini.
Semuanya pun tenggelam dalam perasaanya masing-masing.

Setahun berlalu tanpa ada yang berubah. Yang berubah hanya Aku dan Nara yang kini telah memiliki seorang anak yang kami beri nama Adriana Laras Kinanthi. Nama yang akan selalu membuatku teringat akan Ibuku. Mas Rendra pun sudah bertunangan dengan Mbak Meidina dan berencana menikah pada tahun ini.

Sedangkan Evelin sibuk dengan jadwal kuliahnya. Dia mengambil Jurusan Kedokteran Spesialis Jantung. Mungkin dalam hati, Evelin merasakan yang namanya kehilangan, kehampaan yang teramat mengoyak hatinya sepeninggal ibu.

 Dan dia berjanji tidak ingin melihat orang lain meninggal akibat penyakit yang sama seperti yang ibu derita. Ayah kini sudah pensiun. Beliau menghabiskan waktunya dengan berkebun, merawat kebun bunga dan sayuran peninggalan ibu dan juga menjaga Adriana cucunya.

Sampai sekarang aku tidak tahu siapa orang yang berbaik hati mendonorkan matanya untukku sampai suatu hari aku melihat surat-surat dari rumah sakit.

Betapa terkejutnya aku mengetahui fakta bahwa mata ibu lah yang sekarang membuatku dapat melihat lagi. Dan Ayah, juga sudah mempersiapkan diri jikalau aku bertanya pada beliau tentang masalah ini. Ayah menyodorkan sebuah surat yang ibu tulis.



Ranjani, kamu tahu ibu selalu mencintai dan menyayangimu bukan? Betapa bahagianya melihatmu mencintai dan dicintai oleh Nak Nara yang sangat luar biasa baik. Dan ibu senang dapat menyaksikan hari pernikahan membahagiakan kalian. Tau tidak, kamu itu masih terlalu kecil untuk menikah ya karena bagi ibu kamu akan selalu menjadi gadis kecil yang tak akan pernah dewasa jika ibu tidak mengomelimu. Pastinya anak kalian berdua akan terlihat sangat luar biasa, karena memiliki kalian sebagai kedua orang tua. Dan ibu ingin memberikan sebuah hadiah untukmu yang nanti akan berguna. Jangan merasa sedih dan kesepian, walau bagaimanapun ibu akan selalu berada di sampingmu. Selalu dan selamanya.

Tak hentinya air mataku berderai. Kupeluk surat itu seakan aku masih bisa memeluk beliau dengan segenap kemampuanku. Namun aku sadar hanya kenangan bersamanyalah yang masih membekas diingatanku.


“Ibu..ibu..ibu.. Aku sangat merindukanmu, sangat ingin bertemu denganmu walau hanya sekali saja meski itu hanya di dalam mimpi” ratapku dengan suara pilu yang menyayat hati.

Senin, 05 Januari 2015

Hujan

Hujan dan  mendung. Merupakan pasangan yang sangat serasi, melebihi keserasian antara Pangeran Charles dan Kate Middleton. Dimana ada hujan selalu saja awan yang berubah mendung, sendu dan terlihat sangat menyedihkan bukan? Ah, memang selalu seperti itu. Dari dulu hingga sekarang tak ada yang berubah akan hal itu. Yang berubah hanyalah antara aku dan Dirga. Ya, aku dan Dirga. Bukan, tapi lebih kepada aku yang berubah.

Hai, namaku Narindia Lakshanti. Semua orang memanggilku Narin dan ada juga yang senang memanggilku Laksh. Yeah, itu terserah kepada mereka saja ingin memanggilku apa selagi itu masih namaku. Akan kupastikan aku akan menjawab panggilan itu.

 Masih sangat jelas dan segar ingatan akan pertemuanku dengan Dirga. Yeah, pujaan hatiku saat ini mungkin hingga nanti. Di waktu hujan turun sangat deras tak terkira, di saat itulah aku bertemu dengannya. Lucu bukan? Kenapa harus di saat hujan? Kenapa tidak di saat yang lainnya saja? Ah, pertemuan seseorang manusia itu memang tidak dapat diatur. Kapanpun dan dimanapun pasti kita akan selalu bertemu dengan seseorang yang tidak kita kenal.

          “Ya, ampun. Kamu kenapa lagi sih? Kenapa disaat kayak gini harus mogok? Oh God, please just sent your angel to help me” rengekku yang sudah putus asa.

Mengingat betapa derasnya hujan diluar sana, dan aku terjebak dengan si Leon yang mogok benar-benar membuatku ingin menangis. Dan ditambah lagi batre hpku mati yang memang sejak dikantor sudah low, dan betapa bodohnya aku tidak menchargenya terlebih dahulu.

Akhirnya kuputuskan untuk memeriksa si Leon.

         “Ah, kenapa aku tidak pernah mau belajar semua hal tentang mobil dengan Ayah? Sekarang giliran kesusahan dan nggak ada siapapun jadi repotkan” rengekku yang sudah hampir menangis. 

Memalukan memang di usiaku saat ini yang berumur 23 tahun aku masih bisa dengan mudahnya menangis di depan umum. Ahh, aku ingin rasanya memplester mataku ini agar tidak menangis di sembarang tempat.

Tiba-tiba ada mobil Pajero Sport yang menepi di depan Leon. Ada apa lagi? Apa mobil itu juga mogok? Batinku. Aku pun langsung geleng-geleng kepala dengan pemikiranku yang terkadang gila menurut para sahabatku.
Dan tak disangka si empunya mobil turun tanpa payung. Ternyata cowok yang masih memakai stelan jas kantorannya. Dan dia pun langsung menghampiriku yang sudah bermandikan air hujan, sangat basah kuyup.

          “Hei, mobilnya kenapa?” Tanya si cowok yang sudah berdiri di sampingku.

          “ Nggak tau, tiba-tiba Leon mogok” jawabku sambil menyeka air mataku yang sudah bercampur dengan air hujan.

          “Coba sini gue liat dulu ya” jawab si cowok dengan lembut yang membuat Narin merasa tenang dan menghentikan isakan tangisnya.

Setelah memeriksa secara keseluruhan mobilnya, ternyata hanya airnya yang habis. Narin sudah sangat khawatir kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Leonardonya.

          “Ah, ini nggak pa-pa. Cuma keabisan air doang mesinnya. Nggak usah panik dan nangis ya. Eh, rumah gue deket dari sini gimana kalo lo ganti baju dulu di rumah gue?” tawar si cowok yang belum aku kenal ini.

Duh, baik banget sih ini cowok. Jarang-jarang ada cowok baik di jaman sekarang. Dan cowok baik itu sekarang ada di depan ku berdiri di tengah hujan deras yang mengguyur kami berdua.