“Lo cari ke sebelah sana dan gue akan
cari ke sebelah sini” ucap Rinto kepada Kazehaya yang sedikit banyak mengerti
bahasa yang diucapkan oleh Rinto padanya.
Mereka
sedang mencari Alena yang mana merupakan adik dari Rinto. Alena menyusul Rinto
ke Shibuya dengan maksud untuk mendamaikan Kakaknya dengan Ayahnya yang sempat
bertengkar hebat. Lantaran Rinto yang sudah salah paham kepada Ayahnya.
Alena
tidak mengenal Jepang sebaik Rinto mengenalnya. Rinto merupakan anak dari istri
pertama ayah mereka. Ibu Rinto merupakan orang asli Jepang, beliau meninggal
karena sakit leukemia. Dan setelah itu Ayah Alena kembali ke Indonesia dan
menikah dengan Marina dan melahirkan Alena.
Meski
hanya saudara tiri, Rinto sangat menyayangi Alena. Begitu pula dengan Alena
yang sangat menyayangi kakaknya.
“Bagaimana Kazehaya? Sudah menemukan
Alena?” Tanya Rinto di telponnya dengar gusar.
“Aku menemukannya aku menemukannya,
Alena sedang berdiri di depan patung Hachiko dan terlihat sedih. Segeralah
kemari” tutup Kazehaya di telpon dan berjalan menuju Alena.
Apa yang sedang kamu pikirkan Alena? Kenapa
kamu tampak murung? Batin Kazehaya.
“Hai Alena chan, kamu sedang apa?”
Tanya Kazehaya yang sudah berdiri di samping Alena. Membuat gadis itu sedikit terkejut hingga membuatnya akan jatuh ke samping jika Kazehaya tidak cekatan menangkap tubuhnya.
“Eeeeeh, Kazehaya kun. Eeeee, kok kamu
bisa ada di sini? Onii chan dimana?” ucap Alena gugup karena merasa takut akan
dimarahi dan juga karena terlalu dekat dengan Kazehaya.
Jangan mendekat lebih dari ini, cukup disitu
saja!
Jerit batin Alena.
“Hahaha, kamu kabur atau bagaimana? Nah
sekarang beri aku penjelasan” tuntut Kazehaya sambil melipat kedua tangannya di
dada.
“Aku, aku tidak kabur kok, aku hanya sedih saja. Coba kalau Akiko san
masih hidup, bukan maksudku Ibu masih hidup. Mungkin ada yang bisa menasehati
Onii chan, kamu tahu Onii chan itu keras kepala kan. Aku hanya ingin Onii Chan
dan Ayah berdamai tidak bermusuhan lagi” jawab Alena dengan wajah sendunya yang
tidak cocok sama sekali dengan kepribadian ceria dan hangatnya. Seperti sinar Matahari.
Tiba-tiba
saja Kazehaya menarik Alena ke dalam pelukannya.
“Kazehaya kun..”
“Aku benci melihat wajahmu saat ini, jika
ingin menangis ya menangis saja. Aku selalu bersedia meminjamkan tempat ini,
tempat dimana tak ada yang tahu kau sedang menangis. Nah, sekarang..”
“Kazehaya kun no baka.” Jawab Alena
lirih sambil menangis di dalam pelukannya.
“Ah, gomen. Aku memang bodoh. Nah,
anak pintar. Menangis yang puas ya” ucap Kazehaya sambil mengusap lembut rambut
dan punggung Alena.
Tak lama
kemudian, Rinto sampai dan melihat mereka berdua yang saling berpelukan. Rinto
mengenal betul bagaimana Kazehaya yang tidak akan mungkin bersikap seperti
lelaki brengsek. Malahan, Rinto tertegun melihat si sobatnya bisa melakukan hal semanis itu kepada perempuan. Dan perempuan itu adik tercintanya.
Ah, kamu jatuh cinta pada adikku kan? Dasar
bodoh, pantas saja Kazehaya bertingkah seperti itu. Haha, dasar bodoh. Kazehaya
bodoh dan juga Alena. Ah, adikku tercinta.
“Hmm, apa kalian tidak tahu malu
berpelukan di depan umum? Lihatlah, orang-orang mulai menatapi kalian.” Ledek
Rinto yang dating tiba-tiba mengagetkan mereka berdua yang langsung melepaskan
pelukannya.
“Onii chan..” jawab Alena dengan
berlinang air mata lalu menghambur pergi ke arah Rinto.
“Hei, kiddo. Kenapa kamu menangis, apa
Kaze melakukan sesuatu padamu??”
tanya Rinto yang tidak mengerti mengapa Alena menangis.
“Ini gara-gara onii chan. Cepatlah
berbaikan dengan Ayah, onii chan tau kalau ayah sedang sakit?? Ayah sangat
sayang padamu kak dan Ayah juga sangat mencintai Ibu Akiko, jadi tolong
berbaikan lah dengan Ayah dan kunjungi beliau di Indonesia,” papar Alena di tengah isakan tangisnya.
“Haah, baiklah baiklah. Aku akan
pulang ke Indonesia dan hentikan tangisanmu itu Lena sayang kumohon. Aku tidak imun dengan tangisa wanita, terutama adikku sendiri,” pinta
Rinto pada adiknya itu.
“Baiklah, asal kakak janji akan ikut
pulang denganku besok. Ah iya aku sangat lapar, gara-gara kakak aku tidak makan
masakan ibunya Kazehaya yang sangat lezat.” Ucap Alena manja sambil cemberut
pada Rinto.
“Nah, apa kamu ingin makan di sekitar
sini atau kembali ke rumah Kaze? Hyaaa, kenapa kau diam saja Kaze? Lidahmu
sudah tak berfungsi lagi, ha?” ledek Rinto.
“Hmm, kita kerumah Kaze saja kak.
Bagaimana Kaze kenapa diam saja?” tanya Alena bingung melihat wajah Kaze yang
tampak murung tidak seperti tadi.
“Ah gomen, silahkan jika ingin makan
dirumahku.” Jawab Kazehaya sambil tersenyum.
Kenapa cepat sekali Alena? Bahkan, aku belum sempat mengungkapkan perasaanku padamu? Keluh Kazehaya yang langsung tampak lesu. Memperlihatkan raut wajahnya yang kecewa.
Mereka
bertiga berjalan beriringan menyeberangi Shibuya Cross. Dengan Rinto di depan, Alena berada di tengah dan di belakang ada Kazehaya. Karena terlalu banyak
penyebrang jalan, sehingga membuat Alena terpisah dengan Rinto. Dalam
kebingungannya, tiba-tiba ada yang menggandeng tangan Alena dari belakang.
“Jangan sampai lepas, berpegangan yang
erat ya.” ucap Kazehaya yang menerobos kerumunan orang sambil tersenyum simpul kepada Alena.
Sesampainya
di rumah, Alena langsung meminta maaf dan juga berterima kasih kepada Ayah, ibu
serta adik Kazehaya karena sudah mau menerimanya di dalam keluarga Miyazaki.
“Arigatou gozaimasu, Ojiisan to
Okaasan to Rina chan. Musim panas ini aku pasti kembali,” janji Alena kepada
mereka.
"Main lah lagi kemari, pasti akan bibi masakan makan yang sangat lezat untukmu sayang." ucap bibi Aida, ibu Kazehaya.
"Iya, onee chan. Main kemari lagi ya, nanti nee chan akan Rina ajak ke pantai dan jalan-jalan mengelilingi Shibuya," ucap Rina dengan penuh semangat.
"Sampaikan salamku untuk Ayahmu di Indonesia. Sampaikan juga, kaki Gunung Fuji menantinya di Jepang." ucap Paman Takeda, Ayah Kazehaya.
Dan tiba saatnya aku berpamitan kepada Kazehaya. Tanpa malu aku langsung memeluknya, serta mendekatkan bibirku ke telinganya.
“Kazehaya kun, atashi wa anata ga daisuki. Ja, Sayounara” ucap Alena berbisik di
telinga Kazehaya.
3 bulan
kemudian saat musim panas tiba.
Kazehaya
berlari dari rumahnya menuju Shibuya cross. Kali
ini aku harus bisa mengucapkannya. Tak lama ia sampai, sudah ada sesosok
perempuan yang menunggunya. Saat lampu pejalan kaki berwarna hijau, mereka
saling mendekati. Tak menghiraukan orang-orang yang melintasi mereka.
“Atashi mo, atashi wa anata ga daisuki
desu Alena Arindihita.” ucap Kazehaya yakin seyakin matahari yang terbit di
esok hari.
Mereka pun berpelukan ditengah persimpangan terpadat di dunia tanpa menghiraukan tatapan mata yang tertuju pada mereka. Seakan di tempat itu hanya ada mereka berdua.