Pagi itu
terlihat cerah dan terik, karena dari apa yang kusebutkan bisa kurasakan tengah
menyengat permukaan kulitku. Karena aku sadar tidak akan pernah bisa menatap
langsung indahnya matahari yang tengah memandikan seluruh manusia dengan
sinarnya yang indah. Tapi, walaupun seperti itu aku masih bisa dan selalu bisa
melihat hal-hal itu dengan mata hatiku. Walau pasti rasanya berbeda dan akan
lebih indah.
“Ah tidak
tidak! Seperti ini juga sudah sangat indah.” Ucapku sambil mencari-cari tongkat
untuk membantuku berjalan.
Hari
selalu menjadi hari tanpa berganti siang ataupun malam. Tak perlu ku melihat
semua hal dengan kedua mataku jikalau aku memiliki seluruh hal yang kubutuhkan
untuk melihat bagaimana dunia tanpa mataku yaitu Keluragaku. Karena mereka
adalah duniaku.
Setiap
pagi Ayah, Ibu, Mas Rendra dan Evelin selalu menyambutku dengan cerita. Mereka
tidak sekalipun absen menceritakan betapa indah dan cantiknya setiap pagi,
siang dan sore tanpa sekalipun berniat menyinggung perasaanku. Dan aku selalu
merasa terharu dengan semua yang mereka berikan padaku. Meski hatiku sedih
dengan tanpa adanya sebuah mata yang membantuku, tapi aku cukup dan luar biasa
bahagia sekarang.
Seperti
hari-hari biasanya, hari inipun kuhabiskan dengan membantu ibu. Ayah dan Mas
Rendra bekerja di kantor dan Evelin pergi sekolah. Memang terkadang bukan
membantu, malah terkadang aku membuat ibu susah. Namun ibu hanya tersenyum
tanpa pernah memarahiku.
Aku sudah
menyelesaikan studyku di jurusan Sastra Jerman sebelum kecelakaan tersebut
merenggut penglihatanku. Ayah, Ibu dan Mas Rendra sudah berusaha semaksimal
mungkin mencarikan pendonor untukku, namun jodoh belum juga kutemukan hingga
saat ini.
Suatu
pagi, ibu mengajakku pergi berbelanja ke pasar yang letaknya lumayan jauh
dengan naik becak. Beliau tidak pernah sekalipun malu memiliki anak yang buta
sepertiku, beliau tidak pernah menyembunyikan keberadaanku karena beliau selalu
saja mengikutsertakanku kemanapun beliau pergi ke luar rumah. Dan selalu
kusambut dengan sukacita ketika ibu mengajakku untuk bepergian.
Dan di
sanalah aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tak pernah kutemui
sebelumnya. Entah bagaimana rupanya, yang kurasakan dia memiliki tubuh yang
tinggi melebihi tinggi Mas Rendra yang hanya 175 cm.
Aku tak
sengaja berpisah dengan ibu di pasar, dan tentu saja aku bingung harus pergi ke
arah mana. Namun aku terus dan terus berjalan tanpa sekalipun memanggil ibu,
yang sebenarnya aku sudah sangat sangat ingin menangis karena ketakutan.
Aku pun
duduk berjongkok menenggelamkan kepalaku di kedua tanganku dan mulai terisak.
Tiba-tiba ada sebuah tangan besar dan hangat yang datang menghampiriku.
“Kamu
kenapa?” tanyanya. Mungkin baginya aku seperti anak kecil, karena perawakan
tubuhku yang memang tidak terlalu tinggi dan terlihat mungil.
“Ibu, aku
kehilangan ibuku. Aku tidak bisa melihat” Ucapku sambil menyeka air mata.
Mungkin dia baru mengerti ketika aku memberitahukan hal itu.
Dengan lembut dia membantuku berdiri. “Rumahmu
dimana? Mungkin aku bisa mengantarkanmu” ucapnya lagi. Suaranya sangat lembut
dan merdu, siapa gerangan pemilik suara itu? Akhirnya aku menjawab dengan suara
bergetar.
“Tidak jauh dari sini, Perumahan Pondok Permai, Jl. Melati No. 17.
Terima Kasih dan maaf sudah merepotkan.”
Lengannya
yang kokoh menuntunku dengan lembut menuju ke dalam mobilnya. Selama perjalanan
kami hanya membisu, hanya ada alunan lagu yang menemani keheningan kami sebelum
dia membuka suara.
“Namaku
Narayanda Manggar Putra, namamu siapa?” Suaranya yang bagai dentingan piano
menghipnotisku. Ketika kutersadar, aku pun menjawabnya.
“Ranjanila
Pranandita. Terima kasih ya Nara sudah membantuku.” Ucapku sambil tersenyum.
Kenapa
dengan anak kecil itu? Apa dia sedang menangis? Batin Nara yang berjalan
mendekati seorang gadis kecil dengan rambut panjang hitamnya yang dibiarkan
tergerai dengan cantiknya. Hanya perasaan ingin melindungi yang tiba-tiba
memenuhi seluruh rongga hati Nara ketika melihat gadis di depannya ini. Yang
ternyata tidak bisa melihat dan dia benar-benar sangat cantik.
Nara
mengira dia adalah seorang gadis kecil dan ternyata dugaanya salah. Dia seorang
wanita. Jerit Nara dalam hati. Wanita yang sangat rupawan dan juga menawan.
Mungkin jika memang benar ada ‘Cinta pada pandangan pertama’ saat inilah Nara
merasakannya.
“Nah,
sekarang kita sudah sampai.” Ucap Nara yang segera bergegas keluar untuk
membantu Ranjani keluar. Ternyata ibu sudah menunggu di depan pagar dengan
mimik wajah panik dan juga air mata.
“Apa kamu
melihat ibuku?” tanyaku yang sangat khawatir pada ibu.
“Sekarang
beliau tengah menanti kedatanganmu dengan wajah panik dan juga air mata, mari
kubantu.” Tanpa diminta Nara menuntun Ranjani mendekati ibu.
“Ibu..Ibu..
Ran baik-baik saja. Ran bertemu dengan seorang pemuda baik hati namanya Nara
bu.” Ucapku menjelaskan dengan maksud meredam kekhawatiran ibu, namun tidak.
Ibu
menangis dan memelukku dengan eratnya. “Maafkan ibu, nak. Ibu ceroboh, hingga
bisa kehilanganmu. Ibu tidak akan pernah lagi seceroboh itu.” Ujar ibu disela
tangisannya.
Aku pun
menyeka air matanya dan menggenggam lembut kedua tangannya. Meyakinkan sekali
lagi kepada beliau bahwa aku baik-baik saja. “Ibu, sudah sudah. Ini Ran yang
salah. Maafkan Ran ya bu.”
Ketika
ibu tersadar bahwa ada orang lain selain diriku, ibu langsung mempersilahkan Nara
masuk.
“Terima
kasih nak telah membantu putri ibu. Kapan pun jika ada waktu luang mainlah
kemari, rumah ini selalu terbuka untukmu.” Ucap ibu dengan ramah dan senyum
hangat yang selalu beliau berikan kepada semua orang.
“Bahkan
ini adalah suatu anugerah bu, bisa bertemu dengan Ranjani dan juga ibu.” Jawab
Nara dengan nada serius yang membuat pipiku merona karena terkejut mendengar
ungkapan dari Nara yang sangat jujur.
Sejak
saat itu Nara tidak pernah absen mengunjungi rumahku, entah itu pagi atau setelah
dia pulang dari kerja. Dia selalu saja berhasil datang di waktu yang tepat.
Keluarga
Nara memiliki perusahaan yang sangat terkenal di Negeri ini dan dia mengepalai
salah satunya. Akupun merasa sangat tersanjung memilik teman yang sangat
berhasil seperti Nara. Ayah, Ibu, Mas Rendra dan juga Evelin sangat menyukai
Nara. Nara yang lucu, hangat, supel dan banyak bicara ini telah menyusup ke
dalam keluargaku. Diam-diam keberadaannya mengisi ruang dihatiku.
Pernah
suatu pagi ibu bertanya padaku ketika tak ada seorangpun berada dirumah selain
aku dan ibu.
“Ran,
kamu suka ya sama Nara? Ayo, jujur sama ibu ya.” Tentu saja, hal ini akan
menjadi pembahasan yang paling ibu sukai. Dan ibu sudah sangat mengerti diriku
yang tidak akan pernah berbohong padanya.
“Apa
terlihat jelas di wajah Ran bu?” jawabku dengan tersenyum.
“Tentu,
tentu sangat terlihat jelas di wajahmu, sayang. Ayo cerita pada ibu.” Pinta ibu
dengn paksa, yang dengan senang hati akan ku turuti.
“Ibu
masih ingat saat aku hilang di pasar? Saat itu aku sudah mulai mengagumi sosok
Nara sebagai penolongku bu. Namun seiring waktu berlalu, Nara selalu saja hadir
mengisi hari-hariku, dia bisa membuat Ayah, Mas Rendra, Evelin, Ibu bahkan
diriku sendiri merasa jatuh cinta padanya. Dan ketika aku tersadar, rasaku
untuknya tidaklah sederhana karena aku mencintainya bu.”
Setelah
mengungkapkan isi hatiku, aku tak mendengar suara ibu. Hanya hening yang
menyelimuti kami berdua. Ketika kurasa hening semakin mencekikku, aku mencari
keberadaan ibu yang masih duduk di sampingku. Ku raba wajahnya yang basah. Ibu
menangis? Tapi, kenapa?
“Ibu, ibu
kenapa? Kenapa ibu menangis?” tanyaku dengan perasaan was-was. Ibu membelai
lembut pipiku dengan punggung tangannya.
“Ibu
sangat senang, mendengar kamu menyukai Nara. Karena jujur Ran, Ayah, Masmu dan
Evelin juga sangat menyukainya bukan bahkan mereka mencintainya. Dan ibu rasa
dia juga mencintaimu.”
Aku
terdiam mendengar perkataan ibu, lebih menekankan kepada kalimat terakhirnya. Berharap tentu saja boleh, hanya jangan
melampaui batasan agar tidak memanen kekecewaan. Batinku. Langsung saja ku
sanggah perkataan ibu dengan alasan yang menurutku realistis.
“Mencintaiku
bu? Mencintai aku yang memiliki banyak kekurangan sedangkan dia memiliki sejuta
pilihan yang lebih baik di luar sana? Itu bukan cinta, itu hanya simpati dan
rasa kasihan.”
Setelah
itu, aku dan ibu tidak pernah sekalipun membahas masalah ini lagi. Ya, aku
harus sadar dan tahu diri. Cinta tidaklah harus saling berbalas, cukup dengan
aku mengakui bahwa aku mencintainya itu sudah lebih dari cukup untuk kusimpan
seorang diri dalam hati.
Dan Nara
masih seperti biasanya, selalu datang dengan sejuta tawa yang didapatkan entah
dari mana asalnya yang membuat suasana rumahku selalu ramai dan hangat.
Malam itu
tanpa ada pemberitahuan, Nara mengajakku makan malam dan meminta izin kepada
Ayah, Ibu dan juga Mas Rendra.
“Ayah,
Ibu dan juga Mas Rendra. Saya ingin mengajak Ran pergi makan malam, apa boleh?”
Semuanya
terdiam dan hening, Evelinlah yang memecah keheningan tersebut dengan menjerit
kegirangan.
“Boleh
boleh tentu saja boleh Mas Nara. Iya kan Ayah, Ibu, Mas Rendra? Pasti Mbak Ran
juga mau kan pergi sama Mas Nara?” Dan yang aku dengar hanya tawa seluruh
anggota keluarga yang menghiasi ruang tamu pada saat itu.
Malam
berikutnya aku bersiap-siap menanti jemputan Nara yang akan datang jam 7.
Antara senang, takut, grogi telah bercampur aduk menjadi satu yang membuat
kedua tanganku seketika berubah menjadi sedingin es. Aku memakai gaun biru selutut
yang kupadukan dengan jaket berwarna pastel yang baru saja ibu belikan.
Gaun
sederhana tapi cukup menawan. Kata ibu, gaun itu mengingatkan beliau kepadaku.
Mendengar suara mobil berhenti, aku sudah mengenali bahwa itu adalah suara
mobil Nara.
Mas
Rendra membukakan pintu, mengantar dan menyerahkan ku kepada Nara. Kata pertama
yang keluar dari mulut Nara adalah “Sangat cantik” yang membuat pipiku terasa
panas karena malu.
“Jaga Ran
ya Nar. Dan hati-hati ya kalian berdua dijalan.” Ucap Mas Rendra sambil meremas
pundaku.
Sepanjang
perjalanan kami hanya terdiam. Akhirnya aku memulai pembicaraan.
“Kita mau
pergi kemana?” tanyaku setenang mungkin sambil meremas kedua tanganku yang
masih dingin.
“Kita mau
kerumah orang tuaku Ran. Aku sudah bilang kepada Mama dan Papa akan membawamu,
mereka gembira dan segera mengusulkan makan malam. Masakan Mama nggak kalah kok
sama buatan ibu.” Dan itu sangat membuatku terkejut, apalagi setelah
menyelesaikan perkataanya mobil Nara berhenti. Akupun segera meraih tangan Nara
sambil berkata
“Mau apa
kita kerumah orang tuamu? A, a, aku” lidahku seketika kelu.
“Shh,
tenang Ran. Orang tuaku tidak semenyeramkan apa yang ada di bayanganmu. Dan
jangan grogi ya, sini biar aku hangatkan tanganmu.”
Kamipun
turun. Nara masih menggenggam erat tanganku tanpa sedetikpun dilepaskannya. Bel
pun dibunyikan, tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan aku merasakan
sosoknya di depanku yang langsung memelukku dengan hangat.
“Selamat
datang sayang, mari masuk di luar sangat dingin.” Ahh, ibu kedua. Sayang aku tidak bisa melihat senyum dari Mama Nara.
Batinku. Aku duduk di sofa yang sangat nyaman, dan disampingku sudah ada Nara
yang masih menggenggam erat tanganku.
“Ayo kita
makan, Ran.” Ajak Nara. Dan lagi aku dituntun menuju meja makan. Semoga malam
ini berjalan dengan baik.
Dan aku
pun membeku di tempatku duduk, ketika Nara memulai percakapan dengan kedua
orang tuanya. “Mama, Papa, ini Ranjani. Wanita yang sangat Nara cintai dan
ingin Nara nikahi.” Yang pertama bereaksi adalah Papa Nara yang sangat bahagia
mendengar kabar itu.
“Syukurlah
Nak, kami turut bahagia. Kami akan bersiap untuk melamar Ranjani untukmu nak.
Sudahlah Ma, tahan tangisanmu dihari bahagia ini.”
Aku
sangat senang, tapi kenapa? Nara? Akupun langsung bangkit dari bangku dan pergi
tak tentu arah. Aku tidak peduli, mereka menganggapku aneh atau kurang sopan.
Yang kurasa sekarang adalah sangat takut. Nara langsung mengejar dan memelukku.
Tanpa sadar aku menangis tanpa suara di dadanya.
“Kenapa?
Itu bukan cinta, aku tahu kamu kasian melihatku. Jangan Nara, jangan kamu kasihani
aku” ucapku lirih.
“Dengan
apa agar kamu percaya bahwa aku mencintaimu, Ran?” ucap Nara dengan suaranya
yang lembut.
“Antar
aku pulang sekarang dan antar aku berpamitan kepada kedua orang tuamu.” Setelah
berpamitan, kami pulang kembali ke rumah. Ketika sampai, aku langsung bergegas
masuk tanpa menghiraukan Nara yang mengikutiku. Nara memelukku dan membisikan
sebuah hal yang kuanggap lebih indah dari pada dapat melihat kembali.
“Aku
tidak mencintai kelebihanmu, aku pun tidak memintamu menikahiku karena
kecantikanmu. Aku mencintai seluruh kekuranganmu dan aku ingin menikahi kamu
Ran. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku dengan bersamamu. Sekali lagi,
maukah kamu menikah denganku?”
Akupun terduduk sembari menahan mulutku yang
bergetar. Kristal beningpun meluncur mulus di pipiku. Nara melamarku. Melamarku
yang memiliki banyak kekurangan.
”Iya,
Nara” jawabku. Aku bisa merasakan ada orang lain di ruangan ini. Entah itu
Evelin atau Ibu. Namun aku mendengar isakan, entah kebahagia atau kesedihan.
“Ibu?
Evelin?” tanyaku. “Ini ibu Ran. Selamat ya sayang, akhirnya Nara melamarmu.”
Setelah
melamar secara resmi, 2 minggu kemudian kami menikah dengan acara yang sangat
sederhana atas permintaanku yang dengan senang hati dikabulkan Nara.
Seminggu
kemudian tiba-tiba ibu jatuh sakit. Beliau diharuskan menjalani operasi karena
ibu mengalami kebocoran pada jantungnya yang membuat kami semua shock. Karena
ibu menutupi hal ini dari kami semua.
Tanpa
menunda, Ayah menandatangani surat pernyataan pelaksanaan operasi. Namun
operasi tersebut gagal, karena ibu sudah dalam kondisi dimana jantungnya sudah
tidak berfungsi dengan normal. Seketika itupun, duniaku hancur. Mengetahui
kabar ini akupun langsung pingsan.
Ibuku,
pelitaku, pelindungku, tempatku berkeluh kesah selama ini telah tiada.
Kepergiannya membuat lubang baru dihatiku yang tak mungkin akan dapat kututupi
dengan kebahagiaan apapun.
Lembabnya
tanah kuburan pagi itu masih jelas tercium. Kutaburkan segenggam tanah dan
kubisikan kata cinta untuknya.
“Selamat jalan
Ibuku sayang, aku selalu mencintaimu. Selalu dan Selamanya”
Setelah
seminggu berlalu, Ayah memberi tahu bahwa aku mendapatkan donor mata yang lusa
akan kujalani operasinya. Aku senang mendengarnya karena berarti aku akan
melihat keluarga kecilku yaitu Nara. Tentunya Ayah, Mas Rendra, Evelin dan Ibu.
Ah, lagi-lagi aku pingsan karena terlalu sedih atas kepergian beliau.
Di kamar
305, semua orang menunggu lilitan perban yang menutupi mataku pasca operasi.
Akupun meremas tanganku sendiri yang berubah menjadi sedingin es di kutub. Nara
mengalirkan dukungannya melalui tangannya yang merangkul pundakku.
Tak lama
kemudian, dokter pun membuka perban mataku. Yang ada di lubuk hatiku adalah aku
ingin melihat lagi senyuman hangat dan menentramkan milik Ibuku. Aku ingin
melihat ibu lagi.
Aku bisa
melihat. Jeritku dalam hati. Kuedarkan pandanganku ke semua orang yang berada
di depanku. Tak terasa air mata membasahi pipiku, karena aku melihat sosok ibu
berdiri di belakang Ayah sambil tersenyum padaku. Senyuman yang aku rindukan
itu.
“Ibu..
Ibu.. Ibu..” jeritku. Merasakan kepiluan hati ini, merasakan bahagia ini tanpa
adanya beliau di sisiku saat ini.
Semuanya pun tenggelam dalam perasaanya
masing-masing.
Setahun
berlalu tanpa ada yang berubah. Yang berubah hanya Aku dan Nara yang kini telah
memiliki seorang anak yang kami beri nama Adriana Laras Kinanthi. Nama yang
akan selalu membuatku teringat akan Ibuku. Mas Rendra pun sudah bertunangan
dengan Mbak Meidina dan berencana menikah pada tahun ini.
Sedangkan
Evelin sibuk dengan jadwal kuliahnya. Dia mengambil Jurusan Kedokteran
Spesialis Jantung. Mungkin dalam hati, Evelin merasakan yang namanya
kehilangan, kehampaan yang teramat mengoyak hatinya sepeninggal ibu.
Dan dia berjanji tidak ingin melihat orang
lain meninggal akibat penyakit yang sama seperti yang ibu derita. Ayah kini
sudah pensiun. Beliau menghabiskan waktunya dengan berkebun, merawat kebun
bunga dan sayuran peninggalan ibu dan juga menjaga Adriana cucunya.
Sampai
sekarang aku tidak tahu siapa orang yang berbaik hati mendonorkan matanya
untukku sampai suatu hari aku melihat surat-surat dari rumah sakit.
Betapa
terkejutnya aku mengetahui fakta bahwa mata ibu lah yang sekarang membuatku
dapat melihat lagi. Dan Ayah, juga sudah mempersiapkan diri jikalau aku
bertanya pada beliau tentang masalah ini. Ayah menyodorkan sebuah surat yang
ibu tulis.
Ranjani, kamu tahu ibu selalu mencintai dan
menyayangimu bukan? Betapa bahagianya melihatmu mencintai dan dicintai oleh Nak
Nara yang sangat luar biasa baik. Dan ibu senang dapat menyaksikan hari
pernikahan membahagiakan kalian. Tau tidak, kamu itu masih terlalu kecil untuk
menikah ya karena bagi ibu kamu akan selalu menjadi gadis kecil yang tak akan
pernah dewasa jika ibu tidak mengomelimu. Pastinya anak kalian berdua akan
terlihat sangat luar biasa, karena memiliki kalian sebagai kedua orang tua. Dan
ibu ingin memberikan sebuah hadiah untukmu yang nanti akan berguna. Jangan
merasa sedih dan kesepian, walau bagaimanapun ibu akan selalu berada di
sampingmu. Selalu dan selamanya.
Tak
hentinya air mataku berderai. Kupeluk surat itu seakan aku masih bisa memeluk
beliau dengan segenap kemampuanku. Namun aku sadar hanya kenangan bersamanyalah
yang masih membekas diingatanku.
“Ibu..ibu..ibu..
Aku sangat merindukanmu, sangat ingin bertemu denganmu walau hanya sekali saja
meski itu hanya di dalam mimpi” ratapku dengan suara pilu yang menyayat hati.