v Bagian Ketiga
“Dok, ada pasien yang gawat yang harus segera ditangani
secepatnya. Tolong dokter segera datang ke rumah sakit sekarang juga.” Ucap
suster Ana yang panik.
“Tolong bilang ke dokter jaga untuk memberikan
pertolongan pertama sembari menunggu saya datang, 15 menit saya akan sampai di
rumah sakit. Sudah kamu jangan panik ya, Ana.” Ucapku menenangkan.
“Baik dok, terima kasih.” Ucap suster Ana sambil menutup sambungan telponnya.
Memang pusing masih
menyerangku, tapi ini pekerjaanku aku harus menolong pasien dan menyelamatkan
nyawanya walaupun taruhannya nyawaku sendiri. Kuambil jas putih dan peralatan
kedokteran yang lainya dan ku sambar kunci mobil yang tergantung di gantungan
hello kity di dinding.
Langsung saja ku pacu
mobilku di jalanan Jakarta yang untungnya tidak semacet biasanya, dan 10 menit
kemudian aku telah sampai di rumah sakit. Akupun segera berlari menuju suster
Ana yang menunggu di pintu depan Rumah Sakit.
“Bagaimana kondisi pasienya?” jawabku sambil memakai jas putih.
“Usia 7 tahun, mengalami kecelakaan dan terjadi patah tulang di
rusuk dan tangan kirinya.”
“Ya Allah, lalu apa sudah ada pihak dari keluarganya yang datang?
Segera siapkan ruang operasi dan panggil Dokter Andi untuk menemui saya.”
“Sudah dok, pihak keluarga dan juga pihak yang menabrak si anak.
Dok, apa dokter baik-baik saja?” selidik Ana sambil memperhatikan wajahku.
“Saya baik-baik saja Ana, ayo kita harus segera mengambil
tindakan.”
Akupun langsung masuk
ke ruang operasi, karena kalau tidak dilakukan tindakan pada anak tersebut aku
takut ada organ dalam yang terkena patahan tulang rusuk anak tersebut. Dokter
Andi yang baru saja datang langsung mengambil posisinya di depanku, dengan
posisi kita berhadap-hadapan.
“Sudah siap semuanya?” tanyaku pada yang lainnya.
“Siap.” Jawab semuanya serempak
1 jam kemudian, operasi selesai. Semuanya berjalan dengan lancar berkat kerja sama tim yang baik dan juga mukjizat dari Allah. Semua tenaga para tim terkuras habis karena terlalu fokus pada operasi hari ini. Baru beberapa langkah keluar dari ruang operasi, tiba-tiba tubuhku limbung dan detik berikutnya aku sudah tergeletak di lantai rumah sakit. Samar-samar kudengar jeritan suster Ana yang meminta bantuan kepada suster maupun dokter yang sedang berada disitu.
Ketika terbangun, aku
sudah ada di ruang rawat inap dengan sebuah infusan yang menancap ditanganku.
Dokter Erza yang juga salah satu sahabatku sedang mengamati sambil mengecek detak
jantungku dengan stetoskopnya terkejut ketika aku membuka mata.
“Za, gue dimana? Nih apaan pake infus nancep segala lagi, gue baik-baik aja
kok.” Jawabku lirih karena pusing langsung menyergapku.
“Di ruang mayat Rin, pake nanya lagi dimana. Ya di ruang inap lah tadi elo
tiba-tiba pingsan abis OP. Apaan yang baik?? Tensi elo rendah banget, orang
biasa mungkin udah pingsan ngegeletak tapi karena elo dokter mungkin punya
darah cadangan kali ya.” Jawab Erza yang membuatku tersenyum.
“Yee, gue nanya baik-baik kali Za. Berapa tensi gue, jangan bilang turun lagi.
Karena gue punya tanggung jawab atas nyawa seseorang, itu yang bikin gue jadi
lebih kuat.” Jawabku
“68/60 parah gila lo ya, makanya sekarang elo harus di infus sama istirahat
dulu. Tapi gue salut sama elo deh Rin, dengan tensi yang rendah banget elo
masih bisa jalanin OP bareng si Andi tadi sumpah keren banget.” Jawabnya sambil
memberikan tepuk tangan kecil tanda kagum.
“Gila, turun lagi. Hahaha bisa aja ya elo ngebanyolnya, thanks ya Za. Sampe
kapan gue harus di sini?”
“Iya sama-sama Rin, sampai habis infusnya sama kalau tensi elo udah
normal lagi baru elo bisa pulang. Eh iya tadi hp bunyi tuh.”
“Lamaa juga, elo mau bantuin ngabisin infusnya nggak? Oh iya, mana hp gue ya?”
“Yeee, bisa dimarahin direktur gue kalo nggak nyembuhin anak emasnya.
Nih, tadi gue pegang.”
“Ye, basi. Anak emas dari Hongkong. Yaudah sana cek pasien-pasiennya.
Gue udah baikan kok.”
“Kalau ada apa-apa panggil aja suster.”
Tuh kan benar saja,
ternyata Arshi yang menelpon. Langsung saja aku telpon balik Arshi. Semoga dia
tidak ngambek, kalau sudah ngambek ngedieminya itu loh yang susahnya minta
ampun. Baru saja kupencet speed dial no 3 yang langsung mendial nomer hpnya,
langsung saja ku dengar ocehannya Arshi yang sangat khas mirip burung beo.
“Elo gimana sih? Gue telpon nggak diangkat-angkat, gue udah di apartemen elonya
nggak ada. Elo dimana sih Rin jam segini, udah tau elo lagi nggak enak badan
kan.”
“Aduh satu-satu ngomelnya bisa kan? Sorry, gue dapet panggilan mendadak
dari rumah sakit. Terus tadi gue pingsan soalnya tensi gue rendah banget.”
“Pingsan? Lagi? Duh maaf maaf gue udah ngomel-ngomel nggak karuan. Terus
sekarang elo gimana?” jaawab Arshi dengan nada yang melembut
“Gue diinfus sama si Erza, katanya harus abis baru bisa pulang. Udah nggak
pa-pa kok, palingan masih pusing aja nih kepala gue dari tadi. Udah kayak abis
naik vertigo aja nih.”
“Yaudah mau gue jemput?”
“Gimana? Gue bawa si twin Ar.”
“Yee gampang, gue jemput elo pake mobil gue nah mobil elo titipin aja dirumah
sakit gimana?”
“Yaudah deh, ntar kalau udah abis ini infusan gue call balik elo
yaa. Gue mau tidur dulu daripada ngeliat eternite muter-muter tuh eternitenya.”
Balasku sambil mematikan sambungan telponku dengan Arshi.
Crap!! This gonna
take a long time just to stay in this room. Keluhku sambil mencoba untuk tidur
namun bukannya tidur malah pusing hebat yang kurasakan. Dan lucu lagi, aku ini
seorang dokter yang menyembuhkan pasien tapi untuk sekedar merawat dan
menyembuhkan diri sendiri saja aku tidak bisa.
Memang benar kata
Aristoteles bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian,
mengingat umurku yang sudah 25 tahun. Dimana pada umurku yang sekarang, para
wanita pada umumnya sudah memiliki calon pendamping hidupnya, kecuali aku. Ya
kecuali Maurin Kalinggarshi. Apa karena aku sibuk? Perasaan juga nggak
sibuk-sibuk banget kok, palingan ke rumah sakit sama pulang ke rumah kalau
dirasa udah sumpek dan bete dengan keadaan di apartemen.
Enak kali ya kalau
udah punya cowok, bisa hang out bareng entah kemana nggak harus sama sahabat
yang selalu aja bawa gandengan entah itu statusnya udah resmi pacaran atau baru
sekedar pdkt. Emang Arshiku cintaku selalu aja memberikan nasihat.
“Ayolah, nikmatin dunia ini kita cuma hidup sekali loh. Jangan terlalu serius
sama masalah-masalah harian elo, badan dan otak elo kan juga butuh istirahat
apalagi hati elo Rin.” Ucap Arshi sambil menatapku lurus-lurus di kafetaria
rumah sakit.
“I’m enjoying my life I love it Ar. Loh kenapa sama hati gue? Perasaan
baik-baik aja deh sampai tadi elo bilang something wrong with my heart.”
Balasku polos yang langsung mendapat tatapan geli dari Arshi
“Gue tau elo trauma sama kejadian yang udah nimpa kakak elo, tapi
nggak seharusnya hal itu menghentikan elo buat membuka diri sama cowok kan? Gue
udah kenal elo lebih lama dari siapapun, mungkin elo sendiri nggak mengenal
diri elo tapi gue nggak Rin. Gue kenal elo luar dalem.”
Glek!! Langsung saja
aku terdiam terpaku dan hening kurasakan di sekitarku. Bahkan bunyi dentingan
jam di dinding terdengar jelas di telingaku. Seperti pesawat tempur yang sudah
mengunci sasaranya untuk dibidik agar tepat sasaran, seperti itulah perasaanku
saat ini setelah mendengar ucapan dari Arshi.
Jujur aku trauma
dengan kejadian yang menimpa kak Ranggita, aku takut sedih dan enggan setelah
melihat betapa menderitanya kakakku yang sangat aku sayangi hanya karena
kekasihnya yang benar-benar tulus dia cintai tega melakukan hal keji tersebut
kepadanya. Dan yang lebih kejamnya lagi aku harus membantu merawat kakakku di
rumah sakit jiwa selama beberapa bulan dan akhirnya aku menerima kabar bahwa kakakku
bunuh diri karena terlalu sedih sakit depresi dan menahan semuanya sendirian.
Arrghh!!! Aku benar-benar kalah telak kalau sedang bicara dengan
Arshi. Memang benar dia orang yang paling mengerti diriku selain Ayah dan Bunda
dan Juga Almh.Kak Ranggita. 8 tahun dia mengenalku, mana mungkin dia tidak tahu
diriku luar dalam. Dan betapa bersyukurnya diriku ini karena Allah mengirimkan
seorang sahabat baik yang benar-benar memahamiku, mendukungku selalu tau apa
yang tengah merundungku.