Ketika pertemuanmu
denganku menjadi awal dari sebuah kegelisahan tak berujung, masihkah kau ingin
bertemu denganku? Atau setidaknya menyapaku ketika hari beranjak meninggalkan
butiran-butiran kenangan yang kuhirup debunya dan kembali masuk memenuhi tiap
ruang di rongga dadaku. Bertemu lalu berpisah seperti sepasang sejoli yang
ditakdirkan bersama. Karena semua sudah memiliki konsekuensinya, begitu pun
pertemuanmu dan diriku. Pertemuan tak terencana yang hanya akan berujung pada
perpisahan.
Ingatkah, kedai kopi yang dulu sering ku datangi? Pertemuan
pertama kita, awal mula terjalinnya benang-benang takdir antara dirimu dan
diriku. Benang takdir yang menuntut pertanggungjawaban atas akhir dari
kisahnya. Yang sampai saat ini pun masih menjadi penantian favoritku, menanti
akhir yang pasti dari jalinan benang takdir antara kita. Tentang hal yang
membuatku teringat akan perjumpaan pertama kita di kala hujan. Hujan yang
basah, hujan yang lembab dan hujan pulalah yang mengantarkanku untuk kembali
menyelami ingatan tentang kita. Menarik serta memaksaku kembali menggali
kenganan yang terkubur dalam memori otakku.
Ingat kan, kamu datang dengan kuyup dan
pakaian setengah basah yang membuatmu tampak lusuh. Dengan terburu masuk ke
dalam kedai, membuat semua tatapan menuju ke arah datangmu. Kamu yang cuek
tidak mengindahkan tatapan tajam para pengunjung yang terganggu. Dengan terburu
kamu memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk yang selalu menjadi
langgananku. Di sudut belakang, tempat dimana aku bisa mengamati seluruh
pengunjung kedai.
Entahlah, aku hanya
mengikuti intuisi yang seringnya membuatku terkejut. Terkadang perasaan deja vu memutarkan rekamannya di
kepalaku, seperti sudah berabad-abad lamanya hal tersebut pernah menimpaku. Aku
pun mengalihkan perhatianku kepada gelas kopi , yang sudah meraung-raung
kepulan asapnya. Memintaku untuk segera menyesapnya selagi masih panas. Sesapan pertama memang selalu menjadi daya tarik
tersendiri, ketika rasa dari kopi dan latte menyerbu tenggorokanku. Getirnya
kopi terobati dengan latte yang begitu milky.
Seperti pasang surut gelombang air di lautan,
begitu pula dengan keadaan kedai ini. Ada kalanya ramai begitu pun sepi dan
hari ini tidak terlalu ramai seperti biasanya, hari ini kedai terlihat lengang.
Hanya ada beberapa kursi yang terisi oleh muda-mudi sepertiku yang terjebak
hujan. Memilih untuk singgah di kedai yang menawarkan kehangatan nyata.
Bukannya berlari menembus hujan deras dengan resiko sakit sepanjang akhir
pekan.
Bodohnya aku yang selalu
saja suka memandangi wajah orang yang baru kutemui. Mengamati memang salah satu
kegiatan favoritku, kegiatan yang memberikanku kesempatan untuk melepas rasa
jenuh akan dunia perkuliahan. Tanpa sadar tatapan kami bertemu, memberikan
semacam efek kupu-kupu yang beterbangan dan juga jantungku yang
memlompat-lompat tak karuan. Seketika itu pula, duniaku membeku terpaku hanya
pada sosoknya. Tanpa adanya aba-aba, dia melempar senyuman jenaka. Senyuman
yang jika bisa ingin kuabadikan dalam jepretan foto.
Namanya Arga, Argandanu
Wibisono. Penyuka kopi hitam dan menggambar sketsa. Banyak sketsa karyanya yang
mampir di jemariku, membuatku semakin penasaran akan sosok pria dengan sketsa
apiknya itu. Sketsa ibu hamil memegang tangan putrinya yang sedang
berjalan-jalan di taman, sangat cantik dan menawan. Di antara sketsanya, aku
paling suka dengan sketsa itu. Ya, entah kenapa ada kebahagian dan kerinduan
yang tertangkap dalam sketsa tersebut. Atau mungkin, itu perasaan nyata dari si
pembuat sketsa. Entahlah, karena bagiku Arga adalah kepingan-kepingan puzzle penuh misteri yang masih belum
bisa kupahami. Kami pun semakin dekat, dia tahu aku penggemar latte dan juga
lagu-lagu John Mayer.
Keesokannya, seperti
biasa pada jam yang sama aku menunggu Arga. Sejak bertemu dengannya, aku
mengenal arti dari menunggu. Bahkan, kurelakan waktuku berjam-jam hanya untuk
melihat sosoknya. Ironis memang ketika hanya sebentar waktu yang kami habiskan
berdua, berbanding terbalik dengan waktu yang kuhabiskan untuk hanya
menunggunya. Hingga tetesan terakhir
dari latte yang kupesan, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan datang dan
memamerkan sketsa barunya padaku. Dengan berat hati aku melangkah keluar,
karena aku merasa tercekik jika berlama-lama berada di dalam kedai tanpa ada
kepastian akan kedatangannya. Segumpal perasaan kecewa mengiringi kepulanganku.
Siang harinya, Arga sudah
duduk di kursi kesukaan kami. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Seolah
kemari bukanlah masalah besar baginya, dia tertawa dengan nyamannya di
hadapanku. Kami pun tenggelam dalam percakapan yang membawaku melupakan
kekesalanku kepadanya tempo hari. “Kenapa kamu suka sekali dengan kopi hitam?”
Aku bertanya padanya tiba-tiba, dia juga terkejut sesaat dan tersenyum jenaka.
“Karena aku suka kamu yang meminum kopi latte” jawabmu sambil menyunggingkan
senyum favoritku.
Tiba waktunya aku disibukkan oleh aktivitas kampus
yang menyita waktu, tenaga serta pikiranku. Membuatku absen dari kedai kopi
selama dua minggu. Rasanya aku ingin segera mengakhirinya dan bertemu dengan
Arga. Aku rindu senyum jenakanya, terlebih lagi aku merindukan skesta-sketsa
indahnya tentang kehidupan. Saat semua selesai, aku bergegas menuju kedai kopi.
Menemui Arga yang tengah melamun dengan tatapan nanar.
Apa saja yang kulewati selama dua minggu ini? Dia bukan Arga
jenakaku.
Dia berubah. Menutup
diri, membangun dinding tinggi menjulang yang sulit kudaki. Entah apa yang
telah membuatnya tenggelam sebegitu dalam. Bahkan dia pun tidak lagi memamerkan
sketsa-sketsanya padaku. Dia hanya diam, menyesap kopi hitamnya dan sesekali
tersenyum sendu. Senyum jenaka yang membuatku hangat dan terburu untuk
menantikan pertemuan berikutnya kini menghilang tergantikan dengan obrolan
singkat dan hambar. Dia pergi, meninggalkan sejuta pertanyaan tak terjawab
untukku. Kembali lagi aku sendiri, menyesap kopi latte di sudut kedai kopi.
Jejaknya masih bisa ku
ikuti, hangatnya masih terbayang-bayang menggenggam jemariku. Hanya sosoknya
yang tak lagi temani hariku. Hari demi hari beranjak menjadi minggu. Minggu
membisikkan kepada bulan bahwa dia sudah berganti nama dan berlalu tanpa mau
menunggu. Aku kembali membiasakan diri untuk tidak mengingat rasanya yang
tertinggal di tiap sudut ruang hatiku.
Pagi itu, sepucuk surat
berwarna biru. Biru, warna kesukaanku. Diantar oleh pelayan kedai kopi dan dia
berkata “Mas gantengnya nitip ini sudah dari lama, tapi minta dikasihnya hari
ini mba” Semua kini jelas, jutaan pertanyaan tak terjawabku hanya dijawab oleh
sepucuk surat darinya. Karena hitamnya kopi kesukaanya tidak sehitam dan
sepahit kehidupannya. Bukan tanpa sebab dia pergi tinggalkan aku. Karena Tuhan
maha adil. Bertemu lalu berpisah, begitulah takdir yang harus kami lalui.
Aku tetap percaya dia
akan kembali. Karena Arga hanya sedang
berlibur dan dia akan kembali. Yakinku dalam hati. Dia bukanlah penyuka
kopi hitam seperti yang kutahu. Arga yang kukenal bukanlah Argantara
Syailendra. Akan tetapi Arga yang ku kenal adalah pengisi hatiku. Mas-mas
berjaket lusuh yang bilang suka melihatku meminum latte. Ya, dia akan kembali.
Menikmati kopi hitamnya denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar