Selasa, 03 Januari 2017

HUJAN KEMARIN



Ketika pertemuanmu denganku menjadi awal dari sebuah kegelisahan tak berujung, masihkah kau ingin bertemu denganku? Atau setidaknya menyapaku ketika hari beranjak meninggalkan butiran-butiran kenangan yang kuhirup debunya dan kembali masuk memenuhi tiap ruang di rongga dadaku. Bertemu lalu berpisah seperti sepasang sejoli yang ditakdirkan bersama. Karena semua sudah memiliki konsekuensinya, begitu pun pertemuanmu dan diriku. Pertemuan tak terencana yang hanya akan berujung pada perpisahan.   

Ingatkah, kedai  kopi yang dulu sering ku datangi? Pertemuan pertama kita, awal mula terjalinnya benang-benang takdir antara dirimu dan diriku. Benang takdir yang menuntut pertanggungjawaban atas akhir dari kisahnya. Yang sampai saat ini pun masih menjadi penantian favoritku, menanti akhir yang pasti dari jalinan benang takdir antara kita. Tentang hal yang membuatku teringat akan perjumpaan pertama kita di kala hujan. Hujan yang basah, hujan yang lembab dan hujan pulalah yang mengantarkanku untuk kembali menyelami ingatan tentang kita. Menarik serta memaksaku kembali menggali kenganan yang terkubur dalam memori otakku.

 Ingat kan, kamu datang dengan kuyup dan pakaian setengah basah yang membuatmu tampak lusuh. Dengan terburu masuk ke dalam kedai, membuat semua tatapan menuju ke arah datangmu. Kamu yang cuek tidak mengindahkan tatapan tajam para pengunjung yang terganggu. Dengan terburu kamu memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk yang selalu menjadi langgananku. Di sudut belakang, tempat dimana aku bisa mengamati seluruh pengunjung kedai.

Entahlah, aku hanya mengikuti intuisi yang seringnya membuatku terkejut. Terkadang perasaan deja vu memutarkan rekamannya di kepalaku, seperti sudah berabad-abad lamanya hal tersebut pernah menimpaku. Aku pun mengalihkan perhatianku kepada gelas kopi , yang sudah meraung-raung kepulan asapnya. Memintaku untuk segera menyesapnya selagi masih panas.  Sesapan pertama memang selalu menjadi daya tarik tersendiri, ketika rasa dari kopi dan latte menyerbu tenggorokanku. Getirnya kopi terobati dengan latte yang begitu milky.

 Seperti pasang surut gelombang air di lautan, begitu pula dengan keadaan kedai ini. Ada kalanya ramai begitu pun sepi dan hari ini tidak terlalu ramai seperti biasanya, hari ini kedai terlihat lengang. Hanya ada beberapa kursi yang terisi oleh muda-mudi sepertiku yang terjebak hujan. Memilih untuk singgah di kedai yang menawarkan kehangatan nyata. Bukannya berlari menembus hujan deras dengan resiko sakit sepanjang akhir pekan.   

Bodohnya aku yang selalu saja suka memandangi wajah orang yang baru kutemui. Mengamati memang salah satu kegiatan favoritku, kegiatan yang memberikanku kesempatan untuk melepas rasa jenuh akan dunia perkuliahan. Tanpa sadar tatapan kami bertemu, memberikan semacam efek kupu-kupu yang beterbangan dan juga jantungku yang memlompat-lompat tak karuan. Seketika itu pula, duniaku membeku terpaku hanya pada sosoknya. Tanpa adanya aba-aba, dia melempar senyuman jenaka. Senyuman yang jika bisa ingin kuabadikan dalam jepretan foto.

Namanya Arga, Argandanu Wibisono. Penyuka kopi hitam dan  menggambar sketsa. Banyak sketsa karyanya yang mampir di jemariku, membuatku semakin penasaran akan sosok pria dengan sketsa apiknya itu. Sketsa ibu hamil memegang tangan putrinya yang sedang berjalan-jalan di taman, sangat cantik dan menawan. Di antara sketsanya, aku paling suka dengan sketsa itu. Ya, entah kenapa ada kebahagian dan kerinduan yang tertangkap dalam sketsa tersebut. Atau mungkin, itu perasaan nyata dari si pembuat sketsa. Entahlah, karena bagiku Arga adalah kepingan-kepingan puzzle penuh misteri yang masih belum bisa kupahami. Kami pun semakin dekat, dia tahu aku penggemar latte dan juga lagu-lagu John Mayer.  

Keesokannya, seperti biasa pada jam yang sama aku menunggu Arga. Sejak bertemu dengannya, aku mengenal arti dari menunggu. Bahkan, kurelakan waktuku berjam-jam hanya untuk melihat sosoknya. Ironis memang ketika hanya sebentar waktu yang kami habiskan berdua, berbanding terbalik dengan waktu yang kuhabiskan untuk hanya menunggunya. Hingga tetesan terakhir dari latte yang kupesan, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan datang dan memamerkan sketsa barunya padaku. Dengan berat hati aku melangkah keluar, karena aku merasa tercekik jika berlama-lama berada di dalam kedai tanpa ada kepastian akan kedatangannya. Segumpal perasaan kecewa mengiringi kepulanganku.

Siang harinya, Arga sudah duduk di kursi kesukaan kami. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Seolah kemari bukanlah masalah besar baginya, dia tertawa dengan nyamannya di hadapanku. Kami pun tenggelam dalam percakapan yang membawaku melupakan kekesalanku kepadanya tempo hari. “Kenapa kamu suka sekali dengan kopi hitam?” Aku bertanya padanya tiba-tiba, dia juga terkejut sesaat dan tersenyum jenaka. “Karena aku suka kamu yang meminum kopi latte” jawabmu sambil menyunggingkan senyum favoritku.

 Tiba waktunya aku disibukkan oleh aktivitas kampus yang menyita waktu, tenaga serta pikiranku. Membuatku absen dari kedai kopi selama dua minggu. Rasanya aku ingin segera mengakhirinya dan bertemu dengan Arga. Aku rindu senyum jenakanya, terlebih lagi aku merindukan skesta-sketsa indahnya tentang kehidupan. Saat semua selesai, aku bergegas menuju kedai kopi. Menemui Arga yang tengah melamun dengan tatapan nanar.

Apa saja yang kulewati selama dua minggu ini? Dia bukan Arga jenakaku.

Dia berubah. Menutup diri, membangun dinding tinggi menjulang yang sulit kudaki. Entah apa yang telah membuatnya tenggelam sebegitu dalam. Bahkan dia pun tidak lagi memamerkan sketsa-sketsanya padaku. Dia hanya diam, menyesap kopi hitamnya dan sesekali tersenyum sendu. Senyum jenaka yang membuatku hangat dan terburu untuk menantikan pertemuan berikutnya kini menghilang tergantikan dengan obrolan singkat dan hambar. Dia pergi, meninggalkan sejuta pertanyaan tak terjawab untukku. Kembali lagi aku sendiri, menyesap kopi latte di sudut kedai kopi.

Jejaknya masih bisa ku ikuti, hangatnya masih terbayang-bayang menggenggam jemariku. Hanya sosoknya yang tak lagi temani hariku. Hari demi hari beranjak menjadi minggu. Minggu membisikkan kepada bulan bahwa dia sudah berganti nama dan berlalu tanpa mau menunggu. Aku kembali membiasakan diri untuk tidak mengingat rasanya yang tertinggal di tiap sudut ruang hatiku.

Pagi itu, sepucuk surat berwarna biru. Biru, warna kesukaanku. Diantar oleh pelayan kedai kopi dan dia berkata “Mas gantengnya nitip ini sudah dari lama, tapi minta dikasihnya hari ini mba” Semua kini jelas, jutaan pertanyaan tak terjawabku hanya dijawab oleh sepucuk surat darinya. Karena hitamnya kopi kesukaanya tidak sehitam dan sepahit kehidupannya. Bukan tanpa sebab dia pergi tinggalkan aku. Karena Tuhan maha adil. Bertemu lalu berpisah, begitulah takdir yang harus kami lalui.


Aku tetap percaya dia akan kembali. Karena Arga hanya sedang berlibur dan dia akan kembali. Yakinku dalam hati. Dia bukanlah penyuka kopi hitam seperti yang kutahu. Arga yang kukenal bukanlah Argantara Syailendra. Akan tetapi Arga yang ku kenal adalah pengisi hatiku. Mas-mas berjaket lusuh yang bilang suka melihatku meminum latte. Ya, dia akan kembali. Menikmati kopi hitamnya denganku.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar